Mohon tunggu...
Muhammad Fatkhurrozi
Muhammad Fatkhurrozi Mohon Tunggu... Insinyur - fantashiru fil ardh

Pengamat politik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Pancasila Diuji

31 Mei 2018   20:31 Diperbarui: 31 Mei 2018   20:59 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjelang tanggal 1 Juni, diskurus tentang Pancasila semakin menghangat di tengah masyarakat. Di tambah lagi, isu-isu disintegrasi bangsa dan tudingan "anti-Pancasila" semakin marak dewasa ini. Pancasila dirasa belum terinternalisasi di tengah masyarakat.

Diuji Bertubi-tubi

Sebenarnya, sebelum adanya Pancasila yang kita kenal hari ini, terdapat perdebatan panjang mengenai dasar negara ketika itu. Dalam sidang BPUPKI, ada beberapa versi dasar negara. Ada versi Muhammad Yamin, Dr. Soepomo, dan Ir. Soekarno. Bung Karno mengajukan gagasan lima sila menurut versinya. Bahkan, lima sila tersebut dapat diperas menjadi tiga sila.

Bahkan, dari tiga sila tersebut dapat diperas lagi  hingga satu sila (Ekasila), yakni gotong royong. Perdebatan tersebut belum selesai ketika hari-H Indonesia merdeka. Saat dilanjutkan pembahasannya di Sidang Konstituante 1957, itu juga diintervensi oleh Bung Karno pada tahun 1959. Dari situ, ada perasaan mengganjal soal dasar negara.

Kita juga sedikit tergelitik ketika merenungi bahwa pelopor perlawanan penjajah yang hidup sebelum era Bung Karno itu juga tidak mengenal Pancasila. Sunan Kalijaga, Diponegoro, Haji Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy'ari, itu semua hidup pada era ketika belum ada Pancasila.

Namun banyak dari mereka yang disemati gelar pahlawan karena jasanya. Nama-namanya harum menghiasi nama jalan di kota-kota kita. Kita dibuat bertanya: adakah korelasi antara "keberjasaan" dengan mengemban "Pancasila"?

Sebagian warga negara juga kerap diuji ketika mereka merasakan hidup di luar wilayah Indonesia. Di beberapa negara Barat, walaupun di sana kering syiar-syiar dan nilai ketuhanan, pemerintahannya berjalan lebih transparan dan bersih. Demokrasi berjalan tanpa ekses-ekses negatif yang cenderung mengarah pada bad governance.

Walaupun harus membayar pajak yang sangat besar, namun warganya memiliki perasaan bernegara yang tinggi. Tagihan-tagihan tersebut benar-benar bermetamorfosis menjadi pelayanan yang membuat iri masyarakat di negara berkembang. Negara-negara Nordik, negara yang cenderung memuncaki klasemen dalam kebersihan pemerintahan dan indeks kebahagiaan, memang bukanlah negara Pancasila. Namun di sana dapat ditemukan 'Pancasila'.

Yang repot adalah ketika kita mengetahui bahwa setiap rezim bangsa ini semua mengaku Pancasilais namun sebenarnya jauh panggang dari api. Orde Lama dimana komunisme dapat hidup itu mengaku diri sebagai Pancasilais. Pun juga Orde Baru dimana penjajahan ekonomi asing yang jor-joran menggerogoti sumber daya alam kita itu juga mengaku Pancasilais.

Menariknya lagi, rezim Orde Baru mencap faham komunisme yang berkeliaran bebas di masa Orde Lama itu sebagai faham yang bertentangan dengan Pancasila, lewat Ketetapan MPR pada tahun 1966.

Di Orde Baru juga, bancakan uang rakyat sudah umum terjadi. Bahkan, Transparency International menempatkan mantan presiden Soeharto sebagai presiden terkorup di dunia. Di era presiden Megawati, ada kasus BLBI yang melibatkan uang negara ratusan triliyun yang ditengarai disalahgunakan. Di jaman SBY, ada kasus century yang melibatkan 6,7 triliun uang negara. Mega skandal tersebut sudah berlalu cukup lama. Hari ini beberapa pihak meragukan pengusutan kedua kasus tersebut dapat tuntas.

Data Kemendagri menyebut, sejak 2005 hingga 2014 ada 3.169 anggota DPRD yang tersangkut kasus korupsi[1]. Sejak dilantik pada 2014, sudah ada 9 anggota DPR yang terlibat kasus korupsi. Survei Global Corruption Barometer (GCB) yang dirilis Transparency International Indonesia (TII), pada 7 Maret 2017  menempatkan DPR sebagai lembaga paling korup[2].

Sedangkan soal performa, jangan ditanya. Contoh pada rapat paripurna kemarin, dimana sebanyak 417 Anggota Dewan absen, setidaknya dapat memberi gambaran betapa mereka telah mencederai amanat dari rakyat[3]. Sedangkan sejak 2005, KPK mencatat sebanyak 56 kepala daerah ditetapkan melakukan tindak pidana korupsi.

Dari pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), rata-rata vonis yang dijatuhkan pada kepala daerah tersebut hanyalah empat tahun. Hukuman minimal menurut UU Tipikor[4]. Berbagai kasus akhirnya membuat rakyat skeptis, keadilan hukum hanya isapan jempol belaka.

 Soal ekonomi, kita punya "Ekonomi Pancasila" yang digagas oleh Prof. Mubyarto. Namun beberapa pakar bersikap skeptis dan menganggap itu masih dalam tataran normatif. Ada pula yang menyebut bahwa selama ini, Prof. Mubyarto hanya berhasil membuat "pagar-pagar" saja, tanpa bisa merumuskan isi dari "pagar" tersebut, seperti kritik Arief Budiman.

Sementara Faisal Basri menyebut bahwa Pancasila bukanlah ideologi, namun falsafah negara. Ideologi haruslah berbicara soal kepemilikan. Baginya, sejak merdeka, bangsa ini tidak memilih ideologi[5].

 Katakanlah apa yang so-called Ekonomi Pancasila itu soal keadilan sosial dan gotong royong. Namun kita semua tahu bahwa apa yang diterapkan di negara ini jauh untuk dikatakan seperti itu. Rakyat banyak seringkali menjadi korban keserakahan segelintir pemilik modal. 

Ada kasus soal tambang emas, batubara, perkebunan sawit, produksi air minum dalam kemasan, hingga kejanggalan impor bahan pangan. Keadilan sosial belum terwujud. Tidak berlebihan jika ekonomi kita dikatakan berhaluan neoliberal. 

Mencari Teladan

 Hari ini masyarakat terbelah. Ada pihak yang merasa diri Pancasilais dan ada pihak yang tertuduh "anti-Pancasila". Ada semacam stigma bahwa pengkritik pemerintah --baik rezim dan sistemnya- pasti orangnya "anti-Pancasila". Padahal, dari pengalaman, justru kelompok penuduh lah yang belum menunjukkan 'akhlaq Pancasila'. Dalam kesempatan aksi-aksi mereka misalnya, kebersihan dan ketertiban kelompok tersebut masih kalah jauh dari yang tertuduh.

Terhadap pengajian yang bukan dari golongannya, kelompok penuduh tersebut juga kerap bersikap intoleran. Pengisi kajiannya dipersekusi dan pengajiannya dibubarkan. Kejadian terakhir, lantaran tidak terima dengan pemberitaan di suatu koran, kelompok yang biasa mengaku Pancasilais menggeruduk kantornya dan memukul salah satu stafnya. 

Harusnya kritik dipandang sebagai sesuatu yang positif, suatu usaha introspeksi bersama. Kritik bukan dihadapi dengan pembungkaman dan framing keji, apalagi aksi fisik main hakim sendiri. Walhasil sekarang ini muncul anggapan bahwa jika mau 'aman', seseorang harus merapat pada penguasa. Menyeberang dari pihak oposisi ke pangkuan penguasa dinilai sebagai opsi yang cukup menggiurkan. Sambil mengaku-aku diri sebagai yang paling Pancasila kemudian dapat menggebuk pihak lain semaunya.

Sebagian masyarakat akhirnya terbawa pada anggapan bahwa tuduhan "anti-pancasila" sebenarnya tidak berarti banyak. Justru kita curiga, jangan-jangan tuduhan tersebut sejatinya hanyalah jargon kosong yang ditujukan untuk mencitra-burukkan kelompok warga negara tertentu, sambil menutupi ketidakpancasilaan diri sendiri.

Seperti kejadian yang sudah-sudah. Menurut Din Syamsudin, Pancasila selama ini masih menjadi sebuah klaim dan cenderung sebagai alat politik kekuasaan untuk memukul lawan. Seperti pengalaman saat Orde Baru. Baginya, Pancasila mulai kehilangan kesakralan sudah cukup lama[6].

Presiden telah membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang pada tahun ini berganti menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Pejabatnya menerima bayaran melebihi gaji kepala negara. Harapannya, badan tersebut dapat mengokohkan kembali jati diri bangsa supaya semakin Pancasila.

Namun sebenarnya, hal yang lebih penting adalah keteladanan Pancasila. Tanpa keteladanan, ajaran apapun akan sulit diterima. Jika para elit hanya mempertontonkan kedzaliman terhadap kaum alit dan konflik horizontal antara "Saya Pancasila" dengan yang "anti-Pancasila" terus berlanjut, wajar saja Pancasila terus dipertanyakan.

Pancasila terus diuji dan rakyat terus menilai. Penilaian rakyat lah yang menentukan masa depannya, karena bagaimanapun, kekuasaan sejatinya ada di tangan rakyat. [] Wallahua'lam

----
  
 

[1]https://www.jpnn.com/news/3169-anggota-dprd-tersangkut-korupsi

[2]https://tirto.id/benarkah-dpr-lembaga-terkorup-cku8

[3]https://jurnalpolitik.id/2018/05/18/rapat-paripurna-dpr-417-anggota-dewan-absen/

[4]https://tirto.id/dalam-13-tahun-56-kepala-daerah-jadi-terpidana-korupsi-cHDy

[5]http://www.rmol.co/read/2013/01/13/93889/Faisal-Basri:-Indonesia-Ini-Pakai-Ideologi-Apa--

[6]https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170601171306-20-218749/menghidupkan-pancasila-di-era-jokowi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun