Harusnya kritik dipandang sebagai sesuatu yang positif, suatu usaha introspeksi bersama. Kritik bukan dihadapi dengan pembungkaman dan framing keji, apalagi aksi fisik main hakim sendiri. Walhasil sekarang ini muncul anggapan bahwa jika mau 'aman', seseorang harus merapat pada penguasa. Menyeberang dari pihak oposisi ke pangkuan penguasa dinilai sebagai opsi yang cukup menggiurkan. Sambil mengaku-aku diri sebagai yang paling Pancasila kemudian dapat menggebuk pihak lain semaunya.
Sebagian masyarakat akhirnya terbawa pada anggapan bahwa tuduhan "anti-pancasila" sebenarnya tidak berarti banyak. Justru kita curiga, jangan-jangan tuduhan tersebut sejatinya hanyalah jargon kosong yang ditujukan untuk mencitra-burukkan kelompok warga negara tertentu, sambil menutupi ketidakpancasilaan diri sendiri.
Seperti kejadian yang sudah-sudah. Menurut Din Syamsudin, Pancasila selama ini masih menjadi sebuah klaim dan cenderung sebagai alat politik kekuasaan untuk memukul lawan. Seperti pengalaman saat Orde Baru. Baginya, Pancasila mulai kehilangan kesakralan sudah cukup lama[6].
Presiden telah membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang pada tahun ini berganti menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Pejabatnya menerima bayaran melebihi gaji kepala negara. Harapannya, badan tersebut dapat mengokohkan kembali jati diri bangsa supaya semakin Pancasila.
Namun sebenarnya, hal yang lebih penting adalah keteladanan Pancasila. Tanpa keteladanan, ajaran apapun akan sulit diterima. Jika para elit hanya mempertontonkan kedzaliman terhadap kaum alit dan konflik horizontal antara "Saya Pancasila" dengan yang "anti-Pancasila" terus berlanjut, wajar saja Pancasila terus dipertanyakan.
Pancasila terus diuji dan rakyat terus menilai. Penilaian rakyat lah yang menentukan masa depannya, karena bagaimanapun, kekuasaan sejatinya ada di tangan rakyat. [] Wallahua'lam
[1]https://www.jpnn.com/news/3169-anggota-dprd-tersangkut-korupsi
[2]https://tirto.id/benarkah-dpr-lembaga-terkorup-cku8
[3]https://jurnalpolitik.id/2018/05/18/rapat-paripurna-dpr-417-anggota-dewan-absen/
[4]https://tirto.id/dalam-13-tahun-56-kepala-daerah-jadi-terpidana-korupsi-cHDy