Mohon tunggu...
Boris Toka Pelawi
Boris Toka Pelawi Mohon Tunggu... Aktor - .

.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Motivasi Kerja Itu Tidak Perlu Banyak-banyak

17 Agustus 2020   13:46 Diperbarui: 18 Agustus 2020   11:18 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi karir (Sumber: www.pixabay.com)

Beberapa hari lalu saya menulis sebuah status, isinya begini, "Saat masih sangat muda, kita mencari motivasi untuk menjalani sekaligus memperbaiki hidup. Tapi saat kita sadar kita tak semuda dulu, secara natural kita akan lebih sering memeriksa world view (cara pandang) kita. Apa yang kita lewatkan, apa yang salah, apa kita sudah memandang hidup dengan lengkap dan menyeluruh atau masih setengah-setengah".

Perenungan ini muncul begitu saja, saat saya sedikit mengingat tentang bagaimana saya berpikir saat masih begitu muda dan bagaimana sekarang saya berpikir saat tak lagi semuda dulu. Seperti ada hubungannya dengan pikiran saya itu, hari ini saya memikirkan bagaimana saya saat ini dengan saya dulu dalam merelasikannya dengan pikiran-pikiran saya.

Beberapa bulan yang lalu saya berkomunikasi dengan rekan kerja saya di tempat saya dulu bekerja. Sebagai orang lama, saya menanyakan bagaimana kelanjutan karirnya di perusahaan tersebut. Dengan nada pasrah, kawan saya itu menjawab, "Gak mikirin karir lah bray, yang penting bisa menghidupi keluarga."

Jawaban kawan saya itu kalau dilihat sekilas, seolah kawan saya itu sedang mengalami demotivasi. Tapi sesungguhnya jika dilihat dari sisi lain ada motivasi yang sangat kokoh dalam ucapannya, ada sebuah tekad yang tak bisa dicabut oleh keadaan apapun.

Hal itu memberi saya sebuah perenungan sehingga menulis status begini di Facebook saya,"Saat masih sangat muda, motivasi kerja kita sangat banyak.Ingin ini itu banyak sekali. Karir, uang, kesuksesan biasanya jadi motor penggerak yang mengiming-imingi. Tapi saat memasuki usia yang lebih matang, kita mulai memiliki motivasi yang lebih terang dalam relasinya dengan orang lain. Dalam hal ini, kita khawatir jadi beban orang lain, juga tidak ingin hidup dari hasil kerja orang lain, dan kita ingin membalas jasa-jasa orang lain. Inilah motivasi yang stabil dalam segala keadaan."

Seorang teman pun mengaku memiliki perasaan yang sama seperti status yang saya tuliskan. Saat baru memasuki dunia kerja, sering saya berpikir untuk pindah karena rentan sekali kehilangan motivasi. Saat situasi tidak sesuai ekspektasi, di situlah dorongan untuk mencari kerja yang baru muncul. Gaji yang tidak sesuai harapan walaupun sudah menerima upah yang sebenarnya wajar, lingkungan yang penuh gesekan, atasan yang kurang menyenangkan, dan lain sebagainya.

Tantangan di atas mudah membuat goyah. Tak dipungkiri motivasi yang berorientasi pada diri sendiri memang lemah dan cenderung membuat si empunya motivasi menjadi mudah menyerah.

Hanya motivasi yang memiliki relasi dengan kehidupan orang lain yang tangguh dalam segala situasi. Lihat saja tukang becak yang sudah tua renta, mereka tetap semangat mengayuh becaknya walaupun sudah tua renta.

Ilustrasi karir (Sumber: www.pixabay.com)
Ilustrasi karir (Sumber: www.pixabay.com)
Kenapa di usianya yang tak lagi muda tetap bertahan dengan pekerjaannya? Hanya ini jawabannya, tidak ingin merepotkan orang lain, tidak ingin jadi beban orang lain, dan ingin memenuhi kehidupan orang lain. Kalau motivasinya diri sendiri, bukankah lebih enak jadi peminta-minta? Untuk makan sehari pasti tercukupi.

Maka makin hari saya semakin diteguhkan untuk memiliki motivasi yang benar dalam bekerja. Ternyata motivasi kerja tidak usah banyak-banyak. Bukan berarti kita tidak boleh bermimpi punya gaji yang besar, punya mobil, punya karir yang melejit. Tapi berapa banyak orang yang karena orientasinya kesuksesan pribadi sampai lupa hal mendasar saat sudah bekerja, apa itu? Rasa syukur.

Beberapa hari yang lalu seorang keponakan datang dari kampung, keponakan ini baru lulus sekolah. Setelah mendapat pekerjaan, dia sering mengeluh, mulai dari jam kerja, sampai gajinya yang habis karena kebutuhan sehari-hari. Setelah cukup lama mendengarkan, saya pun memberi nasehat kepadanya. Tujuan saya menasehatinya ialah agar dia tidak banyak mengeluh.

Banyak orang lupa, kemerdekaan finansial pertama sesungguhnya terjadi saat kita sudah tidak minta uang pada orang lain, tidak numpang makan pada orang lain, dan tidak jadi tanggungan orang lain.

Maka saya bilang, sekalipun gaji itu pas-pasan, tapi saat kamu sudah bisa mandiri, hidup dengan uang hasil kerja sendiri, ini adalah perubahan hidup yang revolusioner dan harus disyukuri.

Banyak orang baru kerja sehari, sudah lupa rasanya jadi pengangguran. Bukankah saat jadi pengangguran diri ini terasa hina? Tidak ada harga diri, suntuk, stres, apalagi kalau yang menganggur itu seorang sarjana. Pasti malu sama keluarga dan tetangga, sekolah tinggi-tinggi, tapi tidak punya pekerjaan yang bisa dilakukan.

Tak ada pekerjaan yang tidak ada tekanan dan tantangannya. Tak ada juga pekerjaan yang langsung memberikan fasilitas mewah dan menempatkanmu jadi atasan dengan banyak anak buah, kecuali kamu lulusan kampus top, atau sudah berpengalaman, itu lain cerita. Ini saya bicara dunia kerja secara umum.

Maka ada dua jenis motivasi yang dapat saya sampaikan. Pertama, hasrat dan ambisi, keduanya adalah motivasi yang biasanya banyak maunya. Punya ambisi jadi atasan dalam waktu lima tahun, punya rumah, punya mobil, uang banyak, dan segudang kemauan lainnya. Apakah motivasi ini salah? Sama sekali tidak.

Tapi jika dalam perjalanannya, mendapatkan itu semua tak semudah khayalan zaman kuliah, jangan langsung menyerah dan putus asa. Jangan juga langsung menyalahkan keadaan.

Motivasi yang kedua lebih simple dan menurut saya jauh lebih powerfull. Jadikan ketakutanmu sebagai motivasi terbesarmu. Misalnya, bapak saya dulu punya penyakit gula, sehingga mati muda. Maka setiap hari saya menjaga pola makan dan rajin berolahraga agar tidak mengalami nasib serupa dengan bapak saya.

Atau misal, kita memiliki orangtua yang miskin sehingga kita sangat menderita. Maka kita takut kalau kelak akan memberikan penderitaan yang sama pada generasi selanjutnya dalam hidup kita, maka ketakutan itu membuat kita bekerja keras.

Motivasi kedua biasanya membuat kita lebih militan dan tahan banting. Ibarat begini, kita berdiri di sebuah gedung tinggi, lalu di seberangnya ada gedung juga dan di atasnya ada uang satu milyar. Untuk mendapatkan uang itu kita harus melompat.

Orang pasti akan berpikir seratus kali untuk melompat karena takut jatuh dan mati. Tapi jika di gedung tempat kita berdiri ditaruh seekor singa yang lapar, pasti tanpa pikir panjang kita akan melompat karena kalau tidak kita pasti akan dimangsa singa itu.

Jadi milikilah motivasi yang terang dan dewasa. Dan jangan lupa bersyukurlah jikalau kamu sudah bekerja dan bisa menghidupi diri sendiri. Mungkin belum bisa beli motor, mobil, dan masih menumpang di rumah keluarga. Tapi tidak merepotkan orang lain saja itu sudah sangat bagus.

Motivasi kerja tidak usah banyak-banyak, sedikit saja, yang penting bisa memacu kita untuk terus bekerja tanpa kenal kata menyerah.

Penikmat yang bukan pakar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun