Mohon tunggu...
Boris Toka Pelawi
Boris Toka Pelawi Mohon Tunggu... Aktor - .

.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tak Ada yang Mau Dibenci, Kenapa "Haters" Ada?

29 September 2018   10:09 Diperbarui: 15 April 2019   15:24 1710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Dari keinginan terdalam sering muncul kebencian paling mematikan"— Socrates

Kadang saya suka bingung saat menonton sebuah video yang sangat bagus di YouTube, kenapa masih saja ada yang menekan tombol dislike atau tidak suka (ikon jempol ke bawah). Padahal itu adalah video yang sangat bagus. Bahkan saya pernah menonton sebuah video yang sangat menyentuh  yang diperuntukkan untuk saudara kita yang terkena gempa di Lombok, anehnya masih saja ada ratusan orang yang memberi dislike pada video tersebut.

William Shakespeare pernah berkata, “In time we hate that which we often fear.” Pada saatnya kita membenci apa yang sering kita takutkan. Bukan hanya itu, di dalam dirinya, manusia pada dasarnya punya lebih banyak sifat buruk yang terus bertarung dengan sifat baiknya. Terkadang kita tidak hanya membenci apa yang kita takutkan, kita juga membenci apa yang orang lain bisa lakukan namun kita tidak bisa. Kita membenci orang lain atas apa yang dia peroleh namun kita tak bisa mendapatkannya.

Membenci orang lain adalah jalan keluar yang mudah untuk melampiaskan perasaan campur aduk yang bercokol di dalam diri kita. Entah itu kemarahan, kekecewaan, iri, hingga rasa frustasi yang terus menggerogoti diri. 

Dalam tulisannya yang berjudul,"The Incompetent Heart: Why People Love to Hate You" Gustavo Razzetti mengatakan," kebencian adalah mekanisme pertahanan diri. Ketika diserang, kemampuan untuk memisahkan musuh dari teman sangat penting untuk bertahan hidup. Namun, sebagian besar ancaman kita saat ini adalah persepsi, bukan persepsi nyata - kita sendirilah yang menciptakan pertarungan."

Kita masih membawa sifat primitif yang ada dalam diri kita, yang diturunkan para pendahulu kita sejak manusia diciptakan. Itu kenapa saat ada seseorang yang berhasil menaklukkan gunung Everest yang ditaklukkannya pertama kali adalah dirinya bukan gunungnya. Dia harus berhasil menguasai rasa takut, marah, hingga nafsu yang terus membayangi selama pendakian.

Manusia kini, tampak terlalu mudah memberi dislike pada seseorang, entah melalui karyanya atau secara frontal menyerang langsung.Paling umum dan dianggap sepele adalah dengan menekan tombol jempol ke bawah. 

Ada dua makna dari tombol ini, unlike atau dislike. Menurut beberapa orang jika kita memberi tanda suka (jempol ke atas) di awal lalu dikemudian hari menekan tombol tidak suka (jempol ke bawah) itu artinya adalah unlike, kita tidak menyetujui apa yang dulu kita setujui, atau kita tidak menyukai apa yang dulu tidak kita sukai.

Namun jika dari awal kita sudah menekan tombol tidak suka, ini artinya adalah dislike. Dislike sendiri memiliki arti benci, bukan sekadar tidak suka.Kalau tidak suka sih masih bisa dibilang sebatas ketidak sepakatan atas apa yang dilakukan orang lain.Tapi kalau benci, dia punya arti mendendam hingga perasaan jijik dengan seseorang.

Mungkin inilah dasar yang melahirkan seorang haters. Orang yang tidak suka terhadap sesuatu itu objektif, namun pembenci akan selalu secara subjektif memberi penilaian buruk pada seseorang atau sesuatu.

Ada beberapa ciri seorang haters, antara lain, kita memuji tapi sebenarnya di dalam hati kesal , pujiannya tidak tulus, dan yang tahu ya cuman diri kita sendiri. Saat orang lain bersinar kita tidak mengakuinya. Coba saja lihat perdebatan antara fans Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo.Sudah deh,pendukung kedua pesepak bola ini mah gak ada yang objektif.

Pas Ronaldo cetak gol dibilang ya pasti gol orang cuman menunggu di depan gawang. Ketika Lionel Messi bikin gol, ya wajarlah bikin gol orang mainnya di liga abal-abal. Makannya ada istilah, Pujian semanis madu nggak akan ada artinya kalau kamu jadi haters. 

Haters sendiri sudah punya makna radikal, tapi masih ada lagi pembenci garis keras yang militan, mereka terus menyerang seseorang baik lewat kehidupan ataupun melalui karya-karya si orang tersebut. Mereka juga membuat akun palsu hingga sengaja menyebarkan berita hoaks untuk menjatuhkan orang yang dibencinya.

Namun pertanyaan mendasar dari semua ini adalah, kita sendiri tidak mau dibenci, namun kenapa kita membenci? Apa sebenarnya motivasi kita saat membenci, dan apa gunanya hal itu untuk kita. Kepuasan belaka? Mungkin saja. Gunanya adalah untuk melampiaskan rasa marah, dengki hingga dendam tak berdasar. Tapi apa gunanya melampiaskan semua itu, bahkan apa sebenarnya gunanya memiliki semua perasaan yang mendasari rasa benci? Bahkan nyaris tidak ada.

Saya teringat pesan pengacara kondang Hotman Paris, "jadikanlah idolamu sebagai lawanmu."Jangan cuman bisa nyinyir, begitu sering Hotman Paris memberi pencerahan melalui caption postingannya di instagram. Misalnya Marq Marquez, dulu dia mengidolakan Valentino Rossi sebagai pembalap MotoGP, maka dia terus berlatih, dia amati, tiru, dan modifikasi gaya membalap sang legenda, hingga akhirnya dia bisa menjadikan idolanya itu sebagai lawannya.

Inilah cara "membenci" yang positif, bukan hanya nyinyir. Tapi jadikan "kebencian" itu sebagai motivasi untuk memecut diri. Trims!

Penikmat yang bukan pakar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun