Mohon tunggu...
Boris Toka Pelawi
Boris Toka Pelawi Mohon Tunggu... Aktor - .

.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Motivasi Sudah Basi, Ini Zamannya Provokasi!

23 September 2017   15:23 Diperbarui: 15 April 2019   15:09 6125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Waktu itu tanpa sengaja saya menonton acara motivasi yang tayang di Metro TV. Acara ini dibawakan oleh Merry Riana, sebagai pengganti Golden Ways nya Mario Teguh. Ketika itu sang pembicara berkata bahwa dia bukan seorang motivator, "Saya ini provokator." Jadi yang akan diberikannya pun bukan motivasi, melainkan provokasi.

Saya lupa siapa nama pembicara itu, berhubung paket internet juga habis, saya jadi tak bisa mengetahui lebih jauh metode penggerak yang disebut provokasi ini. Tapi coba saja teman-teman cari di Google, mungkin ada. Yang jelas, metode dan istilah dalam berbagai bidang kehidupan pasti akan selalu dikembangkan oleh para pakarnya.

Ketika itu sang pembicara berkata bahwa sudah bukan zamannya memotivasi. Sebab banyak orang yang tak mempan digerakkan oleh motivasi. Baca buku motivasi cuman sekedar baca, prakteknya kagak. Nonton seminar motivasi, cuman sekedar jadi tontonan doang, action  nya nanti  nggak  tahu kapan, kapan-kapanlah!

Mendadak saya tertarik juga dengan istilah provokasi ini. Saya jadi ingat ucapannya almarhum Zainudin MZ (dulu di pasar saya suka dengarin tukang kaset mutarin ceramah beliau). Beliau bilang begini, "Masyarakat Indonesia itu seperti ranting kering. Susah dipatahkan, mudah dikumpulin dan gampang dibakar." Ceramah beliau yang saya dengar itu memang tengah membahas karakter masyarakat Indonesia yang mudah diprovokasi.

Mungkin ada benarnya juga sih. Contohnya begini, dalam hidup bertetangga, terkadang kita meminjam barang pada mereka (entah blender, cangkul, sendok goreng dll), eh ternyata barang yang kita pinjam hilang, akhirnya mau  nggak  mau kita mesti membeli barang yang kita hilangkan itu untuk mengganti barang yang kita pinjam. Nah disinilah uniknya, kalau bisa minjam ngapain beli (motivasi), tapi pas sudah menghilangkan barang orang ternyata sanggup beli. Jadi istilahnya, membeli  nggak  mau tapi mengganti sanggup.

Sama halnya dengan, jika Cristiano Ronaldo tak hidup di masa yang sama dengan Lionel Messi, mungkin dia tak akan jadi pemain yang hebat seperti sekarang ini. Demikian pun sebaliknya. Jika tak punya lawan yang kompetitif mereka tak akan punya cukup motivasi untuk jadi yang terbaik. Tapi karena pemberitaan media yang kerap membanding-bandingkan mereka --bahkan membuat meme lucu saat yang seorang sedang bermain buruk-- secara halus mungkin mereka terprovokasi hingga terus berusaha jadi yang terbaik.

Sayangnya saat ini yang saya lihat, sebagian masyarakat Indonesia lebih mudah terprovokasi untuk hal-hal yang tidak positif. Misalnya, seperti men-share  berita hoax, melakukan tindakan anarkis, dan bersikap reaktif pada sebuah kondisi dan situasi.

Padahal yang dimaksud dengan terprovokasi disini adalah "terprovokasi", dalam tanda kutip. Kalaupun tidak dalam tanda kutip berarti terprovokasi dalam arti positif. Provokasi sendiri memiliki pengertian penghasutan (menghasut) sedangkan provokatif lebih ke memberikan stimulus agar seseorang bertindak. Sedangkan motivasi kurang lebih adalah dorongan (secara halus) agar seseorang melakukan sesuatu.

Sama-sama bermaksud memberikan stimulus, tapi provokasi lebih bernuansa "cari gara-gara" dan "manas-manasin" orang. Itu kenapa sang pembicara bilang bahwa saya bukan motivator, tapi saya ini provokator. Dengan begitu diharapkan para pendengarnya lebih terpacu untuk bertindak.

Tentu saat diprovokasi bukan berarti besok langsung  resign  dan buka usaha, kematangan dalam berencana bukan berarti dihilangkan.  Provokasi mungkin dimaksudkan agar kita tak sekedar NATO: no  action, talk  only. Jadi kalaupun kita diperlihatkan contoh, lihat tuh dia saja cuman lulusan SD tapi bisa jadi menteri kok, tuh tengok si Jupri tampang kayak panci kelindas truk saja tapi pacarnya mirip Maria Selena.

Tentu hal ini bukan dimaksudkan untuk menimbulkan iri hati, apalagi untuk membuat kaca mata bahwa rumput tetangga lebih hijau. Provokasi di sini lebih ke cambuk agar kita bergerak, dan jangan cuman nonton doang. Kalau dia bisa saya juga harus bisa! Begitu kira-kira, meueren(mungkin)

Entah ini cuman istilah, atau memang ada perbedaan yang jelas antara metode motivasi dan provokasi ini. Tapi saya yakin kalau belajar langsung ke pakarnya, akan terasa perbedaannya. Ada sebuah kisah dari buku berjudul PROVOKASI yang ditulis oleh Prasetya M Brata yang bisa dibaca disini.

Judul ceritanya Pilih Kekayaan daripada Kebijaksanaan.

Jadi dikisahkan, di zaman Nasrudin Hoja hiduplah seorang hakim yang tersohor. Nasrudin ingin menguji sang hakim. Ia mendatangi hakim dan bertanya, "Tuan hakim anda adalah orang yang dihormati di negeri ini, seandainya boleh memilih antara kebijaksanaan dan kekayaan, tuan pilih mana?"

Mendapat pertanyaan yang bernada provokasi sang hakim langsung menjawab, sebagai hakim tentu aku akan memilih kebijaksanaan. Lalu si hakim balik bertanya,"Kalau anda mana yang anda pilih, kebijaksanaan atau kekayaan?" Lalu dengan tenang Nasrudin menjawab bahwa dia akan memilih kekayaan. Sang hakim bingung, "kenapa?" Lalu Nasrudin menjawab," Bukankah wajar bahwa seseorang akan memilih sesuatu yang belum dia miliki."

Nah ini tentu hanya cerita saja, entah dari kisah nyata atau tidak saya  nggak  tahu, tapi intinya sang hakim merasa terprovokasi dengan pertanyaan dan jawaban Nasrudin. Bagaimana tidak? Raja Salomo saja memilih kebijaksanaan daripada kekayaan, bagaimana mungkin si Nasrudin ini memilih kekayaan.

Tapi setelah mendengar jawaban yang provokatif ini, mungkin si hakim jadi sadar bahwa dia tak sebijak yang dia pikirkan selama ini.

Yang paling kontras adalah sinetron yang banyak tayang di televisi kita. Biasanya ceritanya tentang keluarga. Ada menantu yang menyiksa mertuanya yang lumpuh, ada anak yang mengusir ibunya yang cacat, ada suami yang mengkhianati isterinya, dan macam-macamlah. Intinya kisahnya menurut saya sangat provokatif. Memang sih di dunia ini ada sosok yang tega menjahati anggota keluarganya, tapi saya belum pernah lihat ada yang sejahat seperti yang dikisahkan di televisi. Kalau Malin Kundang hanya tak mengakui siapa ibunya, kisah yang disajikan pada sinetron di televisi kita saat ini menurut saya lebih parah. Unsur dramatisirnya sangat kuat.

Tapi kisah-kisah tersebut memiliki  ending  yang sama. Yaitu tentang azab dan penyesalan. Pasti ujungnya gitu, sosok jahat yang ada dikisah itu pasti menyesal, kena azab, tertimpa hukuman, kecelakaan, kakinya buntung, matanya buta, dan semua itu terjadi seperti karma versi kilat. Punishment  nya tuh kayak dikirim Tuhan menggunakan paket  express.

Bayangkan, untuk membuat sebuah tontonan sebagai tuntunan, unsur motivasi sepertinya sudah tak mempan lagi. Memotivasi agar para pejabat negara tidak korupsi karena merugikan rakyat sudah tak ada gunanya, itu sebab muncul sinetron yang mengisahkan seorang koruptor yang ditolak kubur saat dia meninggal. Bahkan untuk membawa mayatnya ke kuburan saja harus melewati hujan badai, pohon tumbang yang tiba-tiba turun sebagai murka yang kuasa.

Nuansa neraka sampai harus turun ke dunia sebagai  gimmick  untuk menakut-nakuti, untuk memprovokasi agar manusia menjadi orang yang jujur dan baik.  Segini dululah ya, takut lari kemana-mana.

Mungkin lenyapnya Mario Teguh dari televisi adalah pertanda bahwa motivasi sudah tidak berlaku lagi...

Boleh setuju boleh tidak

Penikmat yang bukan pakar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun