Mohon tunggu...
Boris Toka Pelawi
Boris Toka Pelawi Mohon Tunggu... Aktor - .

.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Tantangan di Persimpangan Remaja Menuju Dewasa

21 September 2017   21:51 Diperbarui: 15 April 2019   15:08 2461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar (Blog Psikologi)

Seperti biasa, tulisan ini sekedar intermezzo saja ya. Hawa dingin menyelimuti Bandung kemarin sore.

Saya ingat banget dulu suka bertanya gini sama orang yang baru saya temui di tempat kerja. Maksudnya sih sambil kenalan."Usianya berapa? Lulusan apa?"

Dulu saya tidak sadar, mungkin pertanyaan ini bisa sensitif buat beberapa orang. Namun saat itu saya masih merasa muda dan bangga akan usia saya yang masih belasan tahun tapi sudah bekerja. Dua pertanyaan di atas selalu memberi kelegaan bagi saya. Ketika orang tersebut menjawab usianya sudah dua puluh lima tahun atau lebih, lalu hanya lulusan Sekolah Menengah Atas (Sederajat) saya tiba-tiba menepuk dada, bersyukur.

Selain sudah bekerja, saya yakin di usia segitu saya sudah jadi sarjana dan sukses. Pokoknya sukses di usia muda. Padahal saya sendiri belum bisa secara spesifik membayangkan saya bakal sukses sebagai apa, dan caranya bagaimana? Tapi inilah menurut saya yang namanya darah muda.

Apalagi orang kampung kayak saya yang saat itu belum lama tinggal di kota Bandung, bawaannya pengen sukses mulu. Tapi itu dulu, saat saya masih remaja yang tengah berdiri dipersimpangan menuju dewasa. Baik secara pola pikir ataupun usia.

Tulisan ini tidak ada maksud membangun pesimisme, kan kata Nidji juga bermimpi itu adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia. Tapi saya cuman mau cerita saja, tentang tantangan yang bakal kita hadapin dipersimpangan remaja menuju dewasa. Apalagi kamu yang baru lulus dari bangku sekolah menuju dunia kerja dan dunia universitas.

sumber gambar (Blog Psikologi)
sumber gambar (Blog Psikologi)
Jangan Terlalu Bangga Akan Mudanya Usia dan Jangan Kecilkan Situasi Orang yang Lebih Tua dari Kamu

Seperti yang saya ceritakan di atas. Tidak salah sih kalau anak muda itu ingin sukses saat masih muda, justru bagus menurut saya. Tapi jangan bandingkan situasi orang lain dengan keberadaan kita saat ini. Saya kenal orang yang cukup bangga dengan kemudaannya. Saat saya tanya,"Oh saya mah masih sembilan belas tahun." Memang itu fakta, dia masih muda, dan memang harus punya mental optimis.

Tapi saya menangkap ada kebanggaan berlebih karena dia sudah bisa kerja, bisa nyetir mobil, anggota karate, saat dia masih belasan tahun. Dan dia selalu yakin akan jadi orang hebat setelah lulus kuliah. Tapi siapa sangka tiba-tiba kontrak kerjanya tidak diperpanjang, hingga akhirnya dia menganggur.

Lama dia mencari kerja, akhirnya dia mendapat kerja di luar kota. Mau tak mau dia harus cuti kuliah karena memilih bekerja. Kalau sudah begini mau bilang apa?

Maksud saya, kalau kita yang muda-muda ini berpikir bahwa jalan di depan sana mulus kayak pipinya Mikha Tambayong, kita keliru.

Cita-cita saya juga dulu datang ke Bandung ini jadi anak band. Tapi apa hendak dikata, lingkungan tidak mendukung. Citra anak band di kampung dengan kota itu beda. Di kampung dengar band kayak Hijau Daun, Ungu, Armada, kesannya sudah keren banget. Lah di Bandung, boro-boro. Ada konser band apapun teman saya cuek aja tuh.

Lingkungan dan pola pertemanan yang saya jalani turut melunturkan minat saya untuk jadi anak band. Kalau sudah begini, kemana mimpi saya yang dulu ingin bikin gebetan yang nolak saya di SMA menyesal? Mana dulu saya janji kalau sukses jadi anak band mau bikin tato nama dia di lengan saya lagi. (Ini saya kisahkan di novel saya yang sampai sekarang nggak terbit-terbit karena katanya masih ngurus ISBN, heran ngurus itu lama banget sih).

Jadi anggap saja ini bandul untuk menurunkan hati kita biar nggak terbuai dengan usia muda.

Sulit  Move  On dari Masa SMA dan Beradaptasi dengan Pergaulan yang Baru

Tantangan kedua adalah, terkenang masa-masa SMA. Saya termasuk orang yang waktu itu susah ninggalin kenangan tentang masa SMA saya. Saya selalu ingat serunya ada di sekolah, bareng sahabat yang gokil, dan...ah gimana ya, seru deh pokoknya. Padahal sahabat saya, boro-boro di SMS saja nggak pernah bales kok.

Kenangan itu semakin memuncak saat tiba-tiba harus menghadapi dunia kerja di kota Bandung dengan kultur manusianya yang berbeda pula. Sudah kerjanya membosankan, ritme kehidupan pun berubah. Memang ada benarnya juga, pas masih sekolah ingin cepat lulus, pas sudah lulus malah ingin balik ke sekolah.

Tapi ini bukan soal ninggalin kenangan di SMA saja. Tantangan berikutnya di persimpangan remaja menuju dewasa ini adalah soal pergaulan. Di sekolah yang kita hadapin itu sebaya, selevel, paling juga kalau ada yang marahin guru dan orang tua di rumah.

Di dunia kerja (kalau kamu milih kerja) kita akan berhadapan dengan senioritas dan atasan. Kalau dimarahi nggak boleh nangis atau ngambek, karena kita sudah dianggap dewasa, padahal sebenarnya secara psikologi kita masih berdiri di persimpangan antara remaja menuju dewasa.

Harus belajar disiplin, tata krama, hingga cara bicara. Kalau tadinya gondrong atau pirang, maka mau tak mau di dunia kerja rambutnya harus disesuaikan dengan peraturan yang berlaku. Intinya ya pasti akan ada perbedaanlah. Dari yang tadinya minta uang sama orang tua, sekarang sudah bisa memberi uang sama keluarga.

Kalau sudah tahu capeknya nyari uang, pasti cara kita memperlakukan uang juga akan beda. Intinya ada tantangan dari segi ritme keseharian dan pergaulan saja sih.

Semakin Tua Semakin Realistis, Benar atau Salah?

Kalau ini sih saya yakin banyak yang mengalami. Saat kuliah ingin jadi sutradara, ingin jadi A dan O. Ada juga yang ingin S2 ke luar negeri. Tapi setelah lulus S1 dan bertemu pasangannya, maka ambil S2 di luar negeri dicoret dan memilih untuk menikah saja.

Itu kenapa mungkin, hidup yang seimbang akan lebih berguna dibandingkan dengan hidup yang ambisius. Skala prioritas kita bisa berubah, bahkan mimpi pun bisa berubah dalam waktu sehari. Padahal itu mimpi tujuh semester Sis!

Saya dan teman-teman juga mungkin mengalami hal yang serupa. Pada saatnya impian remaja kita yang tak berumus akan luntur dengan pencapaian realistis yang mungkin bisa dicapai dengan perhitungan yang matang.

Saat masih remaja kita masih idealis, ingin kerja di perusahaan A atau B, tapi saat dewasa kita malah dengan bijak berkata, pekerjaan yang bisa menghasilkan uang itulah yang akan jadi passion kita . Tanpa bermaksud mengecilkan, Agnes Mo yang jadi ikon para pemimpi dengan slogan "dream  and  make  it happen" pun mungkin (mungkin ya) tak bisa mencapai mimpinya  untuk go international. Bukan tidak bisa, tapi mungkin belum, tapi terserah deh... apapun itu.

Tapi yakinilah dorongan untuk semakin realistis ini akan muncul saat kita mulai dewasa. Bisa karena sering gagal, sering dikecewakan, atau menyerah dengan tantangan yang ada. Makanya penting untuk bersikap was-was, apakah kita saat ini ternyata sedang berada di jalur yang pesimistis tapi merasa sedang melakukan hal yang realistis.

Ini hanya pandangan saya pribadi.

Belum Menemukan Tujuan Hidup Karena Tak Tahu Mau Jadi Apa

Tak semua yang berdiri di persimpangan remaja dewasa tahu ingin menjadi apa. Repot memang saat kita tak tahu apa yang kita mau. Hal ini wajar, karena memang masanya pencarian jati diri. Jangankan tujuan hidup, disuruh milih jurusan kuliah saja bingung kok. Saya lagi coba mikir bagaimana cara mengatasi kebingungan macam ini.

Nah saya dapat ide, coba libatkan keinginan keluarga, orang tua misalnya, mereka ingin anaknya jadi apa. Siapa tahu tujuan hidup kita memang harus keluar dari mulut orang lain. Karena kalau tidak tahu mau jadi apa, merembetnya bakal lari ke hal lainnya.

Seperti kuliah jurusan apa, setelah lulus mau kemana, dan lain sebagainya...

Nah, ini hanya sekedar berbagi pandangan saja.

Penikmat yang Bukan Pakar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun