Mohon tunggu...
Boris Toka Pelawi
Boris Toka Pelawi Mohon Tunggu... Aktor - .

.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Saat Drama Menyelesaikan Persoalan Asmara

16 September 2017   11:07 Diperbarui: 15 April 2019   15:08 6310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di rumah saya, salah satu acara televisi yang cukup sering ditonton adalah Rumah Uya di Trans 7 dan Katakan Putus yang diputar di Trans Tv. Untuk reality show Katakan Putus yang dibawakan oleh Ricky Komo dan Gigi eks Cherrybelle, sebenarnya saya kurang suka, karena menurut saya si pembawa acara cowoknya lebay banget. Kalau ngomong tuh pasti pakai urat. Coba deh tonton sendiri, kalau ngomong tuh si cowok ini pakai nada tinggi mulu. Heran...

Kalau Rumah Uya, masih agak mending, masih ada unsur hiburannya karena kadang ada adegan lucunya. Turut menonton dua reality show yang kayaknya cukup digandrungi masyarakat ini, saya jadi ingat sebuah cerita di buku Sekolah Dasar saya dulu. Kurang lebih ceritanya tentang seorang pria yang didatangi seorang wanita penjual berbagai benda. Saat menawarkan benda dagangannya, si wanita menceritakan bahwa benda tersebut dibuat oleh anak-anak yang tak sempurna secara fisik.

Ada yang tuli, bisu, buta, tak memiliki kaki, pokoknya benda tersebut adalah hasil kerajinan tangan anak-anak tersebut. Si pria sudah tahu kalau sebenarnya wanita itu bohong, tapi si pria tetap mendengarkan tuturan wanita tersebut dengan khidmat. Setelah puas mendengar cerita yang dikisahkan oleh wanita tersebut, barulah si pria membeli barang yang dijualnya. Saat si wanita sudah pergi, isteri si pria bertanya kenapa dia mendengarkan cerita wanita itu kalau dia sudah tahu itu cerita bohong.

Si pria menjawab, tak jadi masalah, cerita itu benar atau bohong, tapi yang jelas saya menikmatinya. Nah, seperti cerita di buku Sekolah Dasar yang pernah saya baca itu, menikmati kebohongan adalah esensi dari menonton reality showsemacam Katakan Putus dan Rumah Uya. Orang yang menonton acara tersebut adalah orang yang juga yakin bahwa acara itu adalah setting-an. Dulu juga ada reality show Termehek-mehek, ada banyak pembahasan di internet yang menyatakan kalau acara ini pun adalah setting-an belaka.

Yang terbaru adalah ditemukannya bukti bahwa acara Rumah Uya pun adalah setting-an. Jadi singkatnya, saat itu Rumah Uya sedang tayang live, dan tengah mengintai seorang pria yang diindikasikan selingkuh melalui kamera tersembunyi. Tapi sayang, saat itu clip on (earphone/alat yang suka dipakai buat komunikasi) yang disimpan di balik pakaian si pria jatuh. Lah, lagi selingkuh kok pakai alat gituan segala. Silahkan teman-teman cek sendiri deh di Google.

Tulisan ini tak dimaksudkan untuk membongkar kebohongan reality show yang saya sebutkan di atas. Buat apa juga, semua orang juga sudah tahu. Itu kenapa, menurut saya sekalipun disebut reality show, sebenarnya reality show itu sendiri lebih menampilkan "drama show". Tak ubahnya menonton film, drama korea, hingga sulap, semuanya hanya soal hiburan belaka. Dan untuk menikmati sebuah hiburan, memang kita harus bisa berdamai dengan kebohongan, untuk kemudian menikmati pertunjukannya.

Dalam berbagai pernyataan pembawa acaranya, mereka selalu memposisikan acara reality showyang mereka bawakan sebagai mediator dalam sebuah hubungan. Okelah, kita anggap saja dulu bahwa permasalahan yang dihadapi pasangan di acara tersebut benar-benar terjadi. Pertanyaannya, kenapa untuk menyelesaikan persoalan asmara saja membutuhkan sebuah drama? Tak bisakah, para pasangan itu menyelesaikannya berdua saja?

Sesuatu memang tak bisa diselesaikan berdua saja jika melihat rumitnya (yang dibikin sendiri) oleh peserta di acara reality show tersebut.

Ada yang sudah tunangan, eh ternyata nggak cinta.

Ada yang sudah mau nikah eh ternyata cuman terpaksa.

Ada yang sudah pacaran lama, eh ternyata CLBK lagi sama mantan.

Jadi ya kalau nggak cukup rumit tak layak dijadikan drama.

Terus kenapa sampai perlu orang ketiga, keempat, sampai Uya Kuya untuk menyelesaikan persoalan asmara, bahkan sampai perlu Gigi Cherrybelle cuman buat bilang putus? (kalopun ini bener terjadi ya, kalo!)

Menurut saya sebagai penikmat yang bukan pakar itu karena,

Pertama, karena menjalin hubungannya coba-coba. Yang namanya coba-coba itu dampaknya bisa jadi yang satu nggak cinta-cinta, eh yang satu akhirnya baper dan cinta beneran.

Kedua, saat hubungan dimana satu pihak serius dan yang satu biasa saja karena sedari awal memang sekedar coba-coba, tapi mau ngomong putus nggak bisa. Mungkin karena kasihan dengan pasangannya, atau masih mau dicoba untuk belajar mencinta (halahh, aku kok bahas yang ginian ya!)

Ketiga, karena merasa tak cinta akhirnya cari orang lain, intinya selingkuhlah.

Ini cuma tiga indikator ya..masih ada banyak indikator lainnya kenapa persoalan asmara butuh drama untuk menyelesaikannya.

Namun, tak perlu drama jika:

Berani bilang putus saat memang sudah tak cinta. Jangan sampai terjebak kayak yang dibilang banyak orang: sudah tak cinta, tapi nggak putus-putus. Katanya lebih sakit di posisi gini sih haha.

Putusin dulu baru cari pasangan yang lain. Selingkuh itu terjadi, saat kita naksir orang lain tapi status masih pacaran. Yang banyak terjadi di reality showsaat ini ya begini. Akhirnya ketahuan, semua lepas, satupun nggak dapat.

Mediator hanya dibutuhkan saat pihak-pihak yang berkepentingan tak lagi dapat menjalin pembicaraan. Jadi menurut saya semua cuman soal komunikasi dan kejujuran.

Memang ada kalanya drama dibutuhkan dalam sebuah hubungan. Contohnya, saat seorang mengabaikan pasangannya, tapi setelah pasangannya jalan sama orang lain baru dia tahu bagaimana rasanya kehilangan (permata kehidupan, eaaaa, eaaaa cakepp, ala penonton facebookers).

Tapi dalam hal asmara, drama yang sehat itu penontonnya terbatas. Yang tahu bolehlah pasangan dan orang-orang terdekatnya. Tapi kalau yang nonton se-Indonesia? Kalau saya pasti malu sih ya.

Tapi kembali lagi... toh ini hanya hiburan, para pasangan yang nongol di tuh acara juga tak perlu dikatain ini itu.

Tapi program reality show ini membuktikan bahwa komunikasi yang terbuka di awal, itu bagaikan cahaya bulan yang tumpah di kegelapan malam (yaelah, nulis fiksi aja gih). Komunikasi yang jujur ibarat rel yang lurus, yang membuat perjalanan lancar jaya, tak berkelok-kelok memusingkan. Ini bukan puisi loh, apalagi petuah, ini tuh ilmu Komunikasi.

Ada sebuah istilah dalam ilmu komunikasi, kurang lebih begini: komunikator yang baik itu bisa mendengarkan apa yang belum terucapkan.

Saya rasa kita semua punya kemampuan ini. Itu kenapa saat seseorang menunjukkan ekspresi, gesture, mimik wajah dan bahasa tubuh lainnya, kita bisa menangkap orang ini nyaman atau risih bicara dengan kita.

Oleh sebab itu, selain kemampuan hati: seperti kejujuran, kesetiaan, cinta dan bla-bla-bla, komunikasi harus jadi teropong untuk kita dalam membaca isi hati orang lewat perilakunya. Hal ini berlaku untuk pasangan dan pergaulan pada umumnya.

Jadi drama bukan satu-satunya pilihan untuk menyelesaikan persoalan asmara.

Tulisan ini hanya hiburan.

Penikmat yang bukan pakar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun