Memang ada kalanya drama dibutuhkan dalam sebuah hubungan. Contohnya, saat seorang mengabaikan pasangannya, tapi setelah pasangannya jalan sama orang lain baru dia tahu bagaimana rasanya kehilangan (permata kehidupan, eaaaa, eaaaa cakepp, ala penonton facebookers).
Tapi dalam hal asmara, drama yang sehat itu penontonnya terbatas. Yang tahu bolehlah pasangan dan orang-orang terdekatnya. Tapi kalau yang nonton se-Indonesia? Kalau saya pasti malu sih ya.
Tapi kembali lagi... toh ini hanya hiburan, para pasangan yang nongol di tuh acara juga tak perlu dikatain ini itu.
Tapi program reality show ini membuktikan bahwa komunikasi yang terbuka di awal, itu bagaikan cahaya bulan yang tumpah di kegelapan malam (yaelah, nulis fiksi aja gih). Komunikasi yang jujur ibarat rel yang lurus, yang membuat perjalanan lancar jaya, tak berkelok-kelok memusingkan. Ini bukan puisi loh, apalagi petuah, ini tuh ilmu Komunikasi.
Ada sebuah istilah dalam ilmu komunikasi, kurang lebih begini: komunikator yang baik itu bisa mendengarkan apa yang belum terucapkan.
Saya rasa kita semua punya kemampuan ini. Itu kenapa saat seseorang menunjukkan ekspresi, gesture, mimik wajah dan bahasa tubuh lainnya, kita bisa menangkap orang ini nyaman atau risih bicara dengan kita.
Oleh sebab itu, selain kemampuan hati: seperti kejujuran, kesetiaan, cinta dan bla-bla-bla, komunikasi harus jadi teropong untuk kita dalam membaca isi hati orang lewat perilakunya. Hal ini berlaku untuk pasangan dan pergaulan pada umumnya.
Jadi drama bukan satu-satunya pilihan untuk menyelesaikan persoalan asmara.
Tulisan ini hanya hiburan.
Penikmat yang bukan pakar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H