Sebuah komunikasi yang baik haruslah diakhiri dengan kesepahaman. Sepaham untuk sepaham, atau sepaham untuk menerima perbedaan. Itu kenapa ada toleransi, ada tenggang rasa, ada berbesar hati. Semua itu harus dipraktekkan dalam kondisi saat kita merasa ingin menang sendiri.
Beberapa hari yang lalu ada sebuah  screenshot  mengharukan yang tersebar di media. screenshot itu berisi ungkapan tentang seorang anak yang akhirnya bertemu dengan ayahnya (setelah sekian lama berpisah) yang adalah seorang driver ojek online. Kalau hal positif begini mau dishare berjuta-juta kali juga kan nggak jadi soal.
Lihat saja, banyak orang  terharu karena kisah anak itu.
Ada sebuah pelajaran menarik dari Adolf Hitler. Begini ungkapannya: kejahatan saja, saat dikatakan terus menerus bisa menjadi sebuah kebenaran. Ya bayangkan, rencana jahat Hitler saja saat terus dipropagandakan dan didoktrinkan pada kaum Nazi akan diterima sebagai sebuah kebenaran. Apalagi kebenaran itu sendiri.
Kalau yang salah saja bisa jadi benar saat dikatakan terus menerus, apalagi yang benar.
Sama halnya jika kita terus menganggap pola pikir kita yang paling benar, dewa saja bisa salah kok. Apa kita ini Tuhan?
Dalam berbagai teori komunikasi (karena saya anak komunikasi) tercatat, tugas komunikator itu bukan cuman  ngecapruk (berbicara) tapi juga mendengarkan!
Tidak ada tertulis kalau tugas kita sebagai komunikator itu hanya mendengarkan orang yang sepaham dengan kita. Yang tertulis itu, tugas komunikator adalah mendengarkan lawan bicaranya, siapapun dia.
Saya masih bisa panjangkan ini tulisan, tapi nanti jatuh-jatuhnya kayak tutorial jadi orang baik, atau kayak tugas kampus. Tapi pada intinya itulah, jangan menendang bola ke arah gawang kalau wasit sudah niup peluit tanda pertandingan selesai.
Kalau diskusi sudah berakhir ya sudah jangan diangkat ke permukaan secara sepihak, lagian apa sih yang mau dibuktikan?
#belajarsabar