Mohon tunggu...
Boris Toka Pelawi
Boris Toka Pelawi Mohon Tunggu... Aktor - .

.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Saat Diskusi Berakhir pada Sebuah Screenshot

8 September 2017   20:13 Diperbarui: 15 April 2019   15:07 2316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itu kenapa topik yang kami bahas tak menjelma menjadi sebuah gosip, melainkan menjadi sebuah pelajaran hidup. Karena saat tengah berdiskusi, kami menggali nilai-nilai positif dari berbagai peristiwa yang kami bahas.

Dalam berdiskusi, ruangan yang kami pakai juga tak sekonyong-kongyong menjelma menjadi ruang sidang untuk menghakimi orang lain. Ada perbedaan paham? Ya. Ada perbedaan pendapat? Pastilah.

Tapi diskusi kami berhenti di ruangan itu, tak kami bawa keluar dari rel yang seharusnya. Kenapa? Karena ada kehormatan orang lain yang harus kami jaga.

Jadi saya nggak paham, kenapa perbedaan pendapat harus menjadi  psywar (perang urat saraf) di luar ranah diskusi. Contohnya di kolom komentar Facebook, seperti yang saya ceritakan di atas. Bukankah lebih elok kalau saling berbalas komentar itu ya berhenti saat salah satu pihak tak membalas lagi. Apa gunanya men-Screenshot percakapan itu, memposting di media sosial, lalu menambahinya dengan kalimat yang men-justifikasi orang tersebut.

Apalagi nama akunnya tidak disamarkan. Saya jadi membayangkan jika tak ada media sosial, apakah bila di dunia nyata kita berdiskusi atau katakanlah berdebat, lalu di luar waktu dan ruang debat kita akan berkoar-koar, mengutip pernyataan lawan bicara kita untuk kemudian menjatuhkannya.

Nggak akan gitu kan?

Saya juga dulu termasuk orang yang provokatif dalam menulis status, namun saat terjadi perdebatan, saya tak akan men-screenshot  perdebatan di kolom komentar lalu menunjukkannya pada seisi media sosial untuk menegaskan bahwa sayalah yang paling benar. Itu namanya mengkultuskan diri sendiri.

Saya rasa tak perlu ilmu komunikasi yang ngejelimet untuk melihat kondisi begini dengan benar. Cukup pakai hati nurani (saya bukan kader Hanura loh ya).

Itu kenapa kita harus tetap berkepala dingin...

Menurut saya diskusi atau perdebatan yang baik itu ibarat mesin peras buah. Jadi saat diperas, sari-sarinya itu yang diambil. Barulah proses pemerasan itu menghasilkan kebaikan. Kalau diskusi hanya jadi media mengkultuskan diri dan menyalurkan emosi, menurut saya kita sudah jadi komunikator yang gagal.

Komunikator itu tugasnya selain menyampaikann pesan apa sih? Ya melakukan persuasi. Kalau ada sebuah pemahaman yang menurut kita salah, melalui tukar pikiran itulah kita coba menyampaikan kebenaran yang seharusnya dipahami orang tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun