Kalau melihat fakta-fakta di lapangan, sebenarnya tantangan seorang yang bergelar sarjana itu lebih besar dibandingkan mereka yang hanya lulus SMA (sederajat).
Mungkin secara prinsip memang benar bahwa gelar sarjana akan memudahkan kita untuk mencapai impian yang kita dambakan. Misalnya kita bercita-cita menjadi seorang wartawan, dengan memiliki gelar sarjana tentu cita-cita kita itu lebih mungkin akan tercapai.
Penyebabnya tentu karena perusahaan media memiliki syarat mutlak, bahwa untuk menjadi wartawan di perusahaannya para pelamar haruslah lulusan S1.
Nah, dalam usaha untuk memenuhi syarat yang menjadi impian kita gelar sarjana itu memang mempermudah. Tapi kan kenyataannya banyak juga sarjana yang sudah lulus, tapi pas melamar pada perusahaan impiannya malah ditolak.
Kayak beberapa waktu yang lalu saat sebuah stasiun televisi membuka lowongan besar-besaran bagi para sarjana di negeri ini untuk menjadi broadcaster handal dan kreatif. Teman saya juga ada yang ngelamar kesono.
Bayangkan, dari sekian banyak pelamar yang diterima cuman beberapa orang saja. Kebayangkan berapa banyak pelamar yang semuanya sarjana itu kecewa.
Saat melamar pekerjaan yang menjadi impian seumur hidup itulah ijazah menjadi begitu spesial dan berharga. Ijazah sarjana seolah menjadi jembatan yang menghubungkan kita dengan impian kita.
Ijazah tiba-tiba menjelma menjadi sebuah alat yang hanya diperuntukkan untuk mencari kerja. Sekadar sharing saja nih guys, asal kalian tahu, jangan dikira nyari kerja pakai ijazah sarjana itu bakal lebih mudah dibandingkan pakai ijazah SMA.
Saya sudah lihat bagaimana seseorang yang tadinya hanya lulusan SMA, lalu memiliki penampilan yang baik cukup mudah untuk berpindah-pindah kerja. Tapi saat dia sudah lulus kuliah dan bergelar sarjana, eh malah susah banget dapat kerja.
Kok bisa gitu sih? Nah disinilah bedanya. Pas dia masih lulusan SMA, dia masih mau diposisikan sebagai pramuniaga atau jadi sales counter. Tapi pas sudah jadi sarjana dia nggak maulah ditempatin pada posisi yang begitu. Ya minimal jadi supervisorlah.
Nah inilah yang saya maksud, kalau bicara tantangan dan kesulitannya, sarjana atau cuman lulusan SMA itu sama aja kok sulitnya. Malah bisa jadi lebih sulit nyari pekerjaan untuk seorang sarjana.
Nggak tahu sih, yang saya lihat saat ini, beberapa perusahaan memang coba menyiasati: kalau sebuah posisi itu bisa di isi dengan lulusan SMA kenapa pula harus di isi lulusan S1.
Tentu lulusan SMA nggak akan banyak permintaan, nggak akan berani minta gaji besar, digaji sesuai dengan UMR juga sudah senang kok. Dengan kondisi ini makinlah seorang sarjana terjepit peluangnya di dunia kerja.
Ya nggak seseram itu juga sih, cuman maksudnya, ya jangan dikira kalau sudah jadi sarjana habislah persoalan. Justru beberapa teman saya bilang setelah lulus kuliah malah kayak ada beban moral yang dipikul.
Misalnya nih kita lulusan SMA dan bekerja disebuah perusahaan, terus karena sudah nyaman kerja disana pas sudah jadi sarjana nggak lagi berniat nyari kerja. Jangan dikira setelah jadi sarjana semua terasa sama.
Kita malah kayak ditindihin sampa perspektif orang lain dan mulai merasa jadi sorotan. ”Percuma aja dong kuliah kalo ujung-ujungnya tetap kerja di sana, ngapain kuliah kalo kerjanya gitu-gitu aja.”
Bukan tak mungkin orang-orang yang mengenal kita mulai mencibir. Dalam kondisi begini biasanya teman kita yang pendidikannya dibawah kita akan merasa bangga karena merasa hanya lulusan SMA tapi bisa mengimbangi seorang sarjana. Sementara yang sarjana mulai merasa malu karena status pekerjaannya sama dengan lulusan SMA.
Itu sebab menjadi sarjana bukanlah sekadar tentang mencari sebuah pekerjaan. Jadi sarjana juga tentang menyelesaikan apa yang sudah kita mulai.
Ada yang menyelesaikannya dengan cara yang menakjubkan, seperti Bill Gates misalnya. Setelah Drop Out dari kampus, bertahun-tahun kemudian dia malah diberi gelar sarjana sekaligus mendapatkan kehormatan dari kampusnya dulu.
Ada juga yang menyelesaikannya dengan cara yang normal. Semester demi semester, skripsi, sidang lalu lulus. Apapun itu kita harus bisa mengusahakan agar gelar sarjana mampu membawa kita pada akhir yang baik. Frustasi hanya bagian dari proses, ujungnya harus happy ending.
Ada sebuah quote yang saya suka yang saya kutip dari artikel khusus yang membahas tentang Albert Einstein di National Geographic. Bunyinya begini, ”Life isn’t always easy, even when you’re a genius.”
Kalimat ini tampaknya benar-benar terjadi dalam hidup Einstein. Dia pernah ditolak saat melamar menjadi pengajar di universitas, teori dan pemikirannya pernah tak dianggap dsb.
Jika kehidupan seorang jenius saja tidak mudah apalagi kehidupan seorang sarjana. Halahh. Toh kebanyakan sarjana cuman punya gelar di atas kertas, padahal otaknya kosong semua --termasuk saya.
Itu sebab mau gelar kita apapun, mau lulusan universitas ternama sekalipun, saya yakin dosis perjuangannya ya sama saja dengan yang lulusan di bawahnya.
Jadi kalau saat ini banyak sarjana yang kesulitan dapat kerja itu wajar-wajar saja. Bukan aib. Tinggal tambah lagi usahanya.
Kalau saat kuliah kita sudah nyuri start buat usaha lebih, seperti nambah skill, punya score TOEFL yang bagus, dan lain-lainnya, itu sebenarnya sudah ngeringanin usaha kita saat nanti bersaing saat melamar kerja.
Jadi usaha juga harus di mulai di waktu yang tepat guys. Ini sekadar berbagi pemikiran saja. Saya juga males buat mempraktekkan apa yang saya tulis ini sebenarnya.
---
Boleh setuju boleh tidak
Penikmat yang bukan pakar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H