Jika ada orang yang bekerja sesuai dengan hobinya, dibayar untuk melakukan sesuatu yang sangat disukainya, bahkan tanpa dibayar pun sebenarnya dia rela melakukannya, percayalah saya bukan salah satu dari golongan itu. Level saya sebagai pekerja masih pada tahap “terjebak service and devotion” kayak yang diceritakan Dolly Parton dalam lagunya yang berjudul 9-5---nine to five.
Tentu gue tidak sendirian, ya kan? Ada banyak orang yang merasa terjebak hingga benar-benar terperangkap dalam suatu pekerjaan yang memang dia tak suka. Kalau sudah begini biasanya apa yang kita lakukan? Apalagi kalau tidak bekerja asal-asalan dan selalu lirik arloji: jam lima teng, go.
Kalaupun bekerja tidak asal-asalan, biasanya lahir satu prinsip baru dalam diri kita dalam memandang pekerjaan, yaitu yang penting kerjaan beres! Yang penting hasilnya Oke Oce! Sebenarnya tidak salah juga sih, karena memang kita dibayar untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan. Jadi, prinsip ini sudah substansial banget dalam dunia kerja.
Nah, ada sebuah pernyataan menarik dari seorang rekan kerja saya yang sudah sepuh dan sangat senior. Ceritanya waktu itu kita sedang duduk di luar ruangan karena ruangan sedang dibersihkan. Saat itu ada saya, atasan, dan beberapa rekan kerja saya yang lain.
Singkat cerita kita bahas-bahas soal pekerjaan, sekadar ngalor-ngidul. Lalu rekan kerja yang saya maksud itu berkata, “Nah kalau ini tuh harus begini dan begitu.” Intinya waktu itu dia menjelaskan sesuatu yang sebenarnya bukan jobdesk dan bagiannya.
Yang dijelaskannya apa dan dia ada di bagian apa, sudah kayak langit dan bumi sajalah pokoknya. Namun, ada satu pernyataannya yang menarik buat saya.
“Kalau saya tidak mau kayak orang-orang. Puluhan tahun kerja di sini, biarpun bukan bagiannya, harus tahu bagian distribusi, audit---dsb.” Walau tidak persis, tapi kira-kira begitulah inti ucapannya.
Rekan kerja saya yang sepuh itu bermaksud, bukankah banyak orang yang sudah bekerja --- di perusahaan produksi coklat dan dia bekerja sebagai security misalnya --- tapi tidak tahu coklat apa saja yang diproduksi perusahaannya, dari mana coklat dipasok, bagaimana pemasarannya, hingga mungkin tidak tahu siapa pemilik perusahaan tempatnya bekerja.
Tentu tidak ada kewajiban untuk seorang security mengetahui semua yang disebutkan di atas. Lagi pula dia tidak lagi sekolah, tidak ada keharusan untuk menghafal semua itu. Tapi ini hanya contoh saja, mana orang yang bekerja dengan “prinsip yang penting kerjaan beres” dan yang tidak.
Tapi seperti yang dikatakan rekan kerja saya yang sepuh itu, minimal kita tahu seluk-beluk dan biodata singkat tempat kita bekerja. Memang benar sih, lucu juga saat seseorang sudah bekerja puluhan tahun tapi tidak memiliki wawasan tentang perusahaan tempatnya bekerja.
Boro-boro mikir sejauh itulah, lagian kita juga sebenarnya benci kerja di sini. Kalau tidak terpaksa mah pengen segera resign. Mungkin begitu anggapan kita. Nah, tapi yang membuat topik ini menarik buat saya adalah, karena prinsip “yang penting kerjaan beres”, kita biasanya menjadi kesulitan untuk menikmati apalagi menjiwai pekerjaan yang kita lakoni.
Pentingnya menjiwai pekerjaan bukanlah agar perusahaan untung karena memiliki karyawan yang bahagia. Toh ada ribuan orang kok yang mengantre untuk mengisi posisi kerja kita saat ini. Menjiwai pekerjaan itu pentingnya adalah untuk diri kita sendiri.
Sebab ada banyak orang yang tak punya sisa waktu untuk melakukan hal lain. Setelah seharian bekerja badan sudah capek, mau piknik pun sudah tak selera, mending tidur dan istirahat. Bangun-bangun eh sudah pagi, kerja lagi, kerja, kerja, kerja, ah cukuplah Pak Jokowi yang begitu.
Kita mah kerja, kerja, pacaran, gitu aja. Itu sebab terkadang kita tak cukup memiliki tenaga untuk membagi waktu untuk hal lain di luar jam-jam kerja kita. Oleh karena itulah penting bagi kita untuk membuat sembilan jam kerja kita menjadi sebuah rentang waktu yang bersifat paket.
Jadi dalam jam kerja, kita tidak suntuk dan hanya ingin menyelesaikan pekerjaan lalu pulang. Kalau kita “terjebak” pekerjaan yang kita tidak suka ya sudahlah. Sudah nasib. Kalau mau mengubah nasib dalam dunia kerja, artikel ini rasanya tidak tepat.
Coba cek di tempat lain. Coba temukan tantangan, hiburan, kesenangan, ilmu baru dan keseruan dari pekerjaan kita itu. Kalau perlu sampai kerjaan rasa piknik, kerjaan rasa sekolah, kerjaan rasa pacaran, dan kerjaan rasa bermain. Ini yang saya maksud membuat waktu bersifat paket: saat kita memasukkan semua unsur kebahagiaan yang kita butuhkan dalam sebuah pekerjaan.
Saya percaya bahwa seni untuk menikmati pekerjaan yang tak kita suka itu bukan dengan cara mengalihkan perhatian dengan cara chatting-an sama gebetan dan stalking-in mantan karena si gebetan tak membalas. Justru, cara menikmati pekerjaan yang tak kita suka adalah dengan cara berkonsentrasi dengan pekerjaan kita. Saya sudah buktikan bahwa ada kenikmatan dalam konsentrasi.
Sebab saat kita terjebak sebuah pekerjaan, yang kita suka atau tidak, yang penting kerjaan beres ini memang sudah seperti motivasi tunggal dan bawaan alami setiap karyawan --- bahasamulah.
Tapi saya punya keyakinan bahwa motivasi bukanlah satu-satunya motor penggerak dalam diri manusia. Konsentrasi juga dapat menjadi penggerak yang membuat hasil kerja kita berkualitas dan layak diapresiasi. Dengan konsentrasi muncul sikap antusias, dan konsentrasi membuat tubuh dan kesadaran kita bergerak sesuai dengan fokusnya. Percaya atau tidak, saat kita berkonsentrasi melakukan sebuah pekerjaan itu akan terasa nikmat. Dan saat melihat hasilnya akan muncul kepuasan pribadi untuk kita nikmati.
Bekerja juga soal sensasi. Kalau kita hanya berpikir yang penting kerjaan beres rasa-rasanya dangkal sekali. Mungkin prinsip ini jugalah yang menghambat kita dalam berkarier. Prinsip ini juga menghambat peluang.
Contohnya seperti perkataan rekan kerja saya yang sudah sepuh di atas. Bayangkan kalau kita menjadi security dengan pengetahuan seorang manajer penjualan. Saat perusahaan membutuhkan tenaga di bidang penjualan, bukan tidak mungkin kita akan ditarik ke posisi itu.
Kenapa harus cari orang luar kalau ada orang dalam yang mumpuni dan sudah jelas rekam jejaknya. Jadi inilah teori baru saya --- tak tahulah kalau sebenarnya sudah pernah tertulis atau ada yang mengucapkan --- teorinya begini: prinsip itu memengaruhi peluang.
Ah! Gayamu!
Bandung 15/03/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H