Walaupun tidak bisa dipukul rata, tapi saya sih yakin orang yang sudah kerja dan belum itu pasti beda pembawaannya. Atau, orang yang sama, saya yakin akan beda kepribadiannya ketika dia belum dan sudah bekerja. Entah dia lulusan sarjana atau SMA, seseorang (seharusnya) tak akan pernah sama saat dia sudah kenal dan bergelut di dunia kerja.
Tanpa bermaksud menjustifikasi atau mengeneralisasi, saya sendiri bisa merasakannya saat berada di kampus. Karena saya mengambil kelas karyawan, jadi saya itu kuliahnya sore. Kelas reguler itu kuliahnya pagi. Lalu saat ada sebuah acara atau sesuatu yang membuat kelas pagi dan kelas sore bergabung, dari caranya berinteraksi terasa sekali bahwa mereka yang kuliah mengambil kelas reguler itu terasa sekali sifat kekanak-kanakannya---saya tidak mengeneralisasi ya, sebab ada juga yang kuliah pagi tapi sambil bekerja, ada juga yang tidak bekerja tapi dewasa.
Mereka yang kuliah sore umumnya sudah bekerja---namanya juga kelas karyawan. Bukan hanya dari cara berinteraksi, biasanya dari pola pikir terasa sekali mana mahasiswa yang sudah bekerja dan belum. Pola pikir ini juga mau tak mau memengaruhi topik apa yang dibahas jika kami mahasiswa sedang berkumpul. Karena memiliki beban yang lebih---harus mencari uang--- mungkin inilah penyebab mahasiswa kelas karyawan terasa lebih dewasa.
Apalagi jika di tempat kerja kita memiliki atasan yang berwibawa, pasti akan terasa sekali dampaknya pada diri kita. Dulu saat saya masih kerja di supermarket, ada seorang supervisor yang sangat kentara “termanifestasi” gaya manajer kami. Kebetulan ketika itu kami memiliki manajer yang berwibawa, bijak dan sangat disenangi sekaligus dihargai seluruh karyawan. Mungkin karena sering berinteraksi, sang supervisor perlahan-lahan seperti menjadi jelmaan sang manajer saja. Mulai dari gaya bicaranya, ucapan-ucapannya, dsb..
Kan tidak ada salahnya meniru yang positif ya. Itu sebab saya memiliki keyakinan bahwa di bawah kepemimpinan yang tepat, dunia kerja adalah tempatnya orang-orang diproses menjadi dewasa. Di bawah kepemimpinan yang tepat itu bukan berarti kita bekerja tanpa ada masalah ya. Saya sudah perhatikan bahwa bimbingan seorang atasan di tempat kerja, itu mampu menembus dan mengubah kita tidak hanya sampai cara bekerja, tapi sampai ke “ubun-ubun” dan mengubah total gaya hidup kita.
Kenapa saya bilang gaya hidup? Jadi ceritanya begini, saya pribadi sebenarnya termasuk orang yang cuek soal penampilan. Saya buta mode. Pengetahuan saya soal merek pakaian, celana, tas atau sepatu itu minim banget. Pengetahuan saya soal style bahkan bisa dibilang kosong. Saya tidak tahu casual itu bagusnya pakai celana apa dipasangkan sama baju dan sepatu yang gimana---sepatu saya cuman satu sih, jangan sok punya pilihan.
Nah, suatu hari, karena setiap kali kerja saya hanya pakai kaos yang itu-itu saja, atasan saya pun menegur saya. Dia mempertanyakan bagaimana self management saya. Nah, singkat cerita dari kejadian itulah saya mulai menerima bahwa ya berpenampilan sepantasnya itu ya penting. Atasan saya itu tidak menyuruh saya harus pakai dasi atau pakai sepatu pantofel dengan semiran hitam mengilat setiap hari. Tapi saya paham maksudnya. Intinya berpenampilanlah sebagaimana mestinya.
Lalu bagaimana sekarang, apakah saya sudah jadi orang yang modis? Apakah saya jadi orang yang mengikuti tren pakaian? Haha jangan bercanda! Karena kalaupun saya jadi orang yang modis, stok pakaian saya tidak mendukungnya. Tapi setidaknya sekarang saya tahu, bahwa kita harus belajar mengapresiasi gaya. Soal berpakaian ini hanyalah kasusnya. Lebih dari itu, pelajaran yang bisa kita tangkap sebenarnya adalah tentang bagaimana menempatkan diri dalam berbagai situasi.
Saat belajar menempatkan diri, maka kita akan mempelajari “komponen-komponen” lainnya. Seperti bagaimana cara berbicara dengan atasan dan bagaimana berbicara dengan teman kerja yang selevel. Cobalah bicara dengan atasan dengan gaya blah-bloh. Pertama dia akan menanyakan ulang. Lalu saat kita masih menjawab mirip orang kumur-kumur, dia akan kembali menanyakan ulang, tapi kali ini dia akan bertanya memakai tanda seru!
Tentu setelah itu kita akan belajar untuk menyampaikan sesuatu dengan tenang, komplit dan bisa dimengerti. Eh tanpa terasa, lama-kelamaan, kita semakin diplomatis dalam berkomunikasi. Kalau bicara formal kita akan terkesan berwibawa, kalau mengobrol biasa kita akan terdengar terpelajar. Percaya atau tidak, tanpa kita sadari, dunia kerja yang setiap hari kita geluti akan membangun gaya hidup kita ke arah yang lebih positif.
Orang yang tadinya buta hierarki setelah masuk dunia kerja akan melek prosedur. Kalau ada masalah tak akan langsung main labrak sana labrak sini. Selain itu, kita juga akan lebih menghargai suatu posisi dan tunduk pada otoritas. Bayangkan, universitas mana yang mengajarkan langsung secara praktik ilmu-ilmu model begini. Tidak ada!Saat kita didewasakan di dunia kerja, saya yakin hal itu akan terbawa sampai ke dunia lain---maksudnya sampai ke setiap sendi kehidupan kita.
Itu sebab saya berani bilang dunia kerja itu adalah sekolahnya membangun dan menimba ilmu seputar gaya hidup. Sekolah fashion dan menata rambut sih banyak, sekolah yang akan mengajarkan kita cara bergaya bahkan menciptakan gaya, tapi bukan “bergaya hidup”. Namun, tentu pelajaran gaya hidup di dunia kerja ini hanya dapat dicerna jika kita berpikiran terbuka. Mungkin terkesan berlebihan, tapi dalam perkembangan karakter kita, dunia kerja itu adalah sebuah anugerah. Banyak hal yang tak bisa kita dapatkan dari buku atau universitas disediakan di kantor saat kita sedang bekerja---termasuk calon pacar, tapi saya belum dapet sih.
Apa lagi? Ah terlalu banyaklah kalau harus dijabarin satu-satu. Tapi tenang, dunia kerja tidak akan membentuk kita dengan cara yang kaku kok. Kita tidak akan menjelma menjadi robot yang hidup karena program, atau karena di dalam tubuh kita ditanam sebuah chip. Justru di dunia kerja, gaya hidup kita terbentuk karena kita semakin mengerti makna di balik segala hal. Kayak filsafat saja, kita jadi Aristoteles, kita jadi Plato, kita jadi filusuf (philosopher).
Kenapa sih seragam dalam dunia kerja itu penting? Oh ternyata biar karyawan itu kompak, memiliki semangat tim, dsb.. Kenapa sih ini harus begini? Oh karena bla-bla-bla, dsb.. Kenapa sih konsumen harus dilayani dengan baik? Oh ternyata itu alasannya, dsb.. Itu sebab dengan pikiran yang semakin ngawur dan sembarangan, saya berani bilang bahwa dunia kerja itu adalah kampusnya filsafat modern. Jurusan filsafat modern itu ada di perusahaan tempatmu bekerja.
Misalnya kita kerja di showroom yang menjual mobil bekas, tiap hari kerja kita hanya mengelap dan menyuci tuh mobil yang dijual biar kelihatan bersih. Orang yang tidak tahu filosofi kenapa mobil itu harus selalu bersih pasti bakal mengomel. ”Ini kan mobil bekas, ngapain juga harus dilap terus. Nggak ada kerjaan lain, Bos?” Tapi kalau kita tahu bahwa sekalipun barang itu bekas dan bukan barang bermerek, saat barang itu bersih, maka barang itu akan terlihat mewah, dan kalau mobil lama dia akan terlihat antik, sudah tentu mobilnya akan lebih cepat laku.
Nah, itu kenapa saya jadi rajin nyuci motor, tapi sayang belakangan ini hujan terus jadi baru dicuci sudah kotor lagi. Lagian gebetan saya nggak mau naik motor, nggak level katanya---eh kok bahas ini sih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI