Mohon tunggu...
Boris Toka Pelawi
Boris Toka Pelawi Mohon Tunggu... Aktor - .

.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ketika Narasi dan Dialog Menjadi Kekuatan Sebuah Cerita

1 Januari 2016   21:45 Diperbarui: 15 April 2019   12:16 2038
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Hal ini membuktikan bahwa ternyata ide (topik cerita itu sendiri) bukanlah menjadi satu satunya faktor paling penting dalam sebuah cerita (baik cerpen, novel, film dan lain sebagainya). Hal ini juga di buktikan oleh sebuah film berjudul ‘Seven'. 

Menurut saya film ini sangat otentik (saya tidak sedang mereview film). Dari beberapa observasi sederhana yang saya lakukan, hampir semua orang yang menonton film ini mengakui bahwa ‘seven' adalah salah satu film thriller dengan  ‘shock ending' bertema pembunuhan berantai terbaik yang pernah ada.

Film yang dibintangi oleh Morgan Freeman dan Brad Pitt sebagai dua orang detektif ini, bercerita mengenai usaha mereka untuk menangkap seorang pembunuh berantai bernama John Doe, seorang yang terobsesi (merasa) melakukan pekerjaan Tuhan dengan membunuh berdasarkan tujuh dosa pokok (seven deadly sins, seven ways to die). 

Seperti serangkaian kematian yang terjadi pada seorang pria gemuk yang terpaksa makan sendiri sampai mati yang mewakili ‘kerakusan'.

Pembunuhan seorang pengacara kaya yang mewakili ‘keserakahan' pembunuhan seorang pria kurus di atas kasur yang mewakili ‘kemalasan' , pembunuhan seorang pelacur yang mewakili ‘nafsu', kematian seorang model muda dengan wajah telah dimutilasi yang mewakili ‘keangkuhan' lalu disusul dengan dosa ‘kecemburuan dan iri hati' (untuk lebih lengkapnya silahkan tonton filmnya).

Beberapa orang yang menonton film ini bahkan mengaku sampai lemas, mual dan ingin muntah. Biasanya sebuah film yang kita anggap bagus akan kita tonton berulang ulang, namun tidak demikian dengan film ‘seven'. Ceritanya benar benar bagus dan ending nya membuat shock itulah yang membuat saya dan beberapa orang yang pernah menonton film ini cukup menonton nya sekali saja.

Loh kenapa? Apakah karena banyak adegan ‘menjijikan' atau ‘sadis', mutilasi berdarah darah dalam setiap adegannya? Nah inilah luar biasanya penulis naskah film ini.

Dalam film  ini jangan dipikir kita akan melihat adegan adegan mengerikan (contoh seperti di film The Raid 2) nyaris hampir tak ada adegan pembunuhan ( yang di perlihatkan saat korban dibunuh), darah, dan penyiksaan yang muncul dalam setiap scene nya.

Tak ada mayat mayat yang secara frontal , atau sering di sorot oleh kamera, semua unsur seram, mistis, pembunuhan, penyiksaan,  teka teki, serta nuansa menegangkan nya hanya di bangun berdasarkan kekuatan narasi serta dialog antara tokoh tokoh dalam film tersebut (tentu tanpa mengesampingkan akting, musik dan hal lain dalam film).

Namun dengan kalimat yang tajam serta deskripsi yang kuat, setiap dialog dan narasi dalam film tersebut sudah mampu menciptakan rasa shock yang membuat saya dan setiap orang yang pernah nonton film tersebut lemas di akhir cerita (nggak tau juga sih siapa tau aja ada orang ketawa ketiwi habis nonton film ini).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun