Sadar maupun tidak, hampir semua manusia masa kini bermazhab viralisme. Semua yang viral diyakini pasti benar. Budaya gerudak-geruduk di era informasi digital---era yang tergesa-gesa dan tak akurat---ini pun melahirkan pengkultusan terhadap "tren pengadilan" baru: sidang di ruang yang sangat luas, bias, dan profan, bernama "pengadilan naratif".
Itulah ruang sidang di mana siapa saja merasa berhak menjadi "jaksa" dan "hakim", serta menahbiskan diri mereka sendiri secara aklamasi dan kolektif. Ruang di mana "jaksa" menyusun dakwaan secara sembarangan dan "terdakwa" dilarang mendapatkan pembelaan. Apabila ada "pembela" yang berusaha masuk ke ruang itu---masuk demi keadilan dan azas praduga tak bersalah---mereka langsung "dibantai", dituduh bersekongkol dan "dijerat pasal 56 KUHP tentang 'turut serta membantu kejahatan'." Bila hukum formil mengatur bahwa satu saksi tanpa didukung alat bukti adalah unus testis nullus testis---tidak mempunyai nilai pembuktian---dalam pengadilan naratif, satu saksi tanpa bukti dianggap sebagai kebenaran mutlak.
Praduga tak bersalah dihukumi haram di ruang ini. Orang dihakimi berdasarkan su'ul yaqin---keyakinan yang hina.
Bahkan, pengadilan naratif sangat mungkin mendapatkan "legitimasi" di dalam ruang sidang resmi yang asli. Sebagian hakim sangat berpeluang memutus perkara berdasar social trust---desakan publik yang mentsunami---bukan berdasarkan kebenaran konstitutif dan nurani. Sebab, jika nekat melawan arus besar opini---memutus perkara yang tidak sesuai kehendak publik, kendati putusan itu benar secara konstitusi---mereka langsung diseret ke kursi "terdakwa" dan dihakimi di ruang sidang yang sangat luas, tak terbatas, telanjang, dan mengerikan. Kedudukan mereka dibalik seratus delapan puluh derajat, dari hakim menjadi dihakimi.
Maka, demi "kehormatan di mata publik"---mungkin juga demi periuk---sebagian hakim menolak bukti-bukti materiil maupun kesaksian yang secara formil membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah. Si terdakwa harus diputus bersalah, di mana vonis itu "menguatkan putusan sebelumnya" pada "tahap" pengadilan naratif.
Pengadil takut pada opini massa dunia maya. Takut pada viralisme. Pengadil tidak takut pada Tuhan Yang Mahakuasa. Benar-salah era digital ditentukan oleh seberapa banyak pendukungmu dan sekuat apa logistikmu. "Universitas Media Sosial" Fakultas Penghakiman berhasil melahirkan "jaksa-jaksa" dan "hakim-hakim" yang taklid terhadap hukum-hukum viralitas.
Anas Urbaningrum dan Antasari Azhar adalah contoh nyata produk pengadilan ilusif ini. Saya curiga, mencium, dan mensinyalir bahwa masih ada yang lain---ada banyak sekali. Coba buka mata lebar-lebar, jujurlah pada akal dan hati, lalu cermati perkara-perkara yang viral menjelang proses pengadilan---terutama terkait dugaan korupsi dan kejahatan seksual. Begitu itulah cara kerja "pengadilan naratif". Disidang juga belum, tetapi subjek hukum sudah "dipidana" secara naratif. Dan hukuman naratif itu bersifat mutlak dan mengikat.
Lakon Anas dan Antasari ini bak cerita film The Hurricane (1999), yang mengadaptasi kisah nyata seorang petinju kelas menengah Amerika Rubin "The Hurricane" Carter---dibintangi Denzel Washington. Rubin harus menjalani hukuman penjara seumur hidup untuk pembunuhan yang tidak pernah dilakukannya. Dia harus disingkirkan sebab dianggap berbahaya gegara tak terkalahkan di atas ring. Para penjudi jadi sulit mengatur taruhan.
Rubin ditangkap sesaat setelah terjadi penembakan tiga orang di sebuah bar di Patterson, New Jersey, Amerika Serikat, yang menimbulkan korban sepasang suami-istri dan pegawai bar hingga meninggal. Rubin dituduh membunuh berdasarkan kesaksian seorang korban yang sedang sekarat di rumah sakit. Hanya satu saksi. Berita di masa itu terus memojokkannya. Dia divonis oleh narasi. Rubin kemudian disidangkan dan divonis hukuman seumur hidup. Sempat menjalani hukuman selama 20 tahun, Rubin akhirnya bebas berkat perjuangan seorang mahasiswa yang sempat membaca buku otobiografi Rubin yang ditulisnya di penjara.
Dan tragedi Rubin ini semakin membudaya pada era viralisme.
Orang-orang sebenarnya paham itu, tetapi orang-orang memilih diam. Diam karena malas terjerat pasal "turut serta melakukan tindak kejahatan". Namun, di saat yang berpararel, bersama kebisuan di hadapan pengadilan palsu ini, mereka juga sangat berpeluang didudukkan sebagai "terdakwa naratif".
Saya, Anda, kita semua memiliki peluang yang sama disidang oleh "hakim dan jaksa keroyokan", yang berpijak pada "kebenaran gerudukan"---jenis "kebenaran" yang menginjak-injak kebenaran dan keadilan Tuhan, yang kemudian "dilegitimasi" dalam ruang sidang konstitutif. Inilah jenis sidang yang dipaparkan Sukarno seusai menjalani  sidang di Pengadilan (Landraad) Bandung (1930): "Pengadilannya ada, hakimnya ada, jaksanya ada. Semua ada. Kecuali satu: keadilan yang tidak ada."
Â
#KeadilanUntukIndonesia
#JanganLupaMikir
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H