Mungkin jamak orang tahu kalau "investasi modal asing" itu kesannya konotatif. Biasanya nggak jauh-jauh dari soal "kerusakan lingkungan", "eksploitasi tenaga kerja", "manipulasi pajak", bahkan "hilang kedaulatan". Tapi Indonesia ini, sudah tahu bakalan begitu, terus-terusan membuka pintu selebar-lebarnya buat penanaman modal asing. Ya, bekerja sama dalam konteks pasar dunia sih boleh-boleh saja. Tapi, mbok ya ada harga dirinya gitu lho...
Konflik dengan investasi luar negeri seolah tidak ada habisnya. Terutama soal tambang dan pengelolaan industri starategis lainnya. Bahkan, kalau tidak salah, dalam RUU Ciptaker/Omnimbus Law itu sekarang kapal bendera asing boleh berbelanja ikan secara swalayan di perairan Indonesia ya? Wah, enak bener... Lautan kita bakal ramai warna-warni bendera dari berbagai negara. Seperti karnaval 17-an. Dan nelayan lokal hanya duduk manis di tepi laut menonton.
Di bidang-bidang tertentu yang sifatnya strategis, kita sering menggunakan tenaga asing sebagai "tenaga ahli" yang semua masukannya dijadikan dalil utama untuk mengambil sebuah keputusan. Untuk pengembangan industri pertambangan, pertanian, perkebunan, dan kehutanan, negara ini menggunakan tenaga ahli dari luar negeri.Â
Seolah-olah yang bisa itu hanya orang dari luar negeri atau jebolan luar. Lha terus, apa fungsinya kita memproduksi SDM-SDM dalam kampus-kampus kita---yang konon kualitasnya makin ke sini semakin bagus ini? Bukankah kita punya ITS, ITB, IPB, dan banyak sekali jurusan teknik di kampus-kampus negeri maupun swasta?
Kenapa bisa begitu? Biasanya, dalil para pengambil keputusan itu begini: "Kita harus belajar teknologi dari luar negeri. Maka dari itu, tenaga ahli didatangkan agar anak-anak negeri bisa belajar dari mereka."
Nah, kalau memang benar-benar belajar, bukankah seharusnya sekarang kita sudah terampil? Sejak Indonesia (katanya) merdeka, Presiden Pertama RI Sukarno sudah mengirim putra-putra terbaik ke luar negeri---waktu itu terutama negara-negara aliansi Timur---untuk mempelajari teknologi mereka. Dan setelah Pak Harto berkuasa, kita juga sudah sering "tukar ilmu" dengan orang-orang Barat. Tukar ilmu ini juga diteruskan oleh presiden-presiden setelah mereka, hingga zamannya Jokowi ini.
Selama 75 tahun kita belajar teknologi dari luar negeri, baik Barat maupun Timur, apa yang kita dapat? Bukankah dalam rentang waktu belajar selama itu, seharusnya kita sudah "lulus", lalu bisa mandiri secara ilmu pengetahuan, pembangunan sumber daya manusia, dan teknologi?Â
Tapi, kenapa negara ini selalu "merasa tertinggal", sehingga sampai sekarang masih sangat tergantung pada asing dan masih sangat membutuhkan investasi dari mereka?Â
Apakah kita tidak belajar, minimal belajar kemandirian dari luar negeri? Negara-negara tempat kita menimba ilmu sudah bisa mandiri, kok. Lalu, apa yang kita pelajari dari mereka, hingga kita belum bisa mandiri dan terus-terusan "nggandoli" asing?
Kenapa mindset "kita selalu tertinggal dari negara-negara maju" dipelihara terus sampai sekarang? Ya, ini masalahnya: Mindset! Kalau meminjam bahasa budayawan Sujiwo Tejo, kita ini bangsa yang minder. Bukannya kita tidak punya keterampilan. Kita punya. Hanya saja, kita minder. Tidak berani maju. Merasa inferior. Mental inilah yang seharusnya direvolusi, kalau Jokowi mau serius dengan 'Revolusi Mental'. Mental-mental minder inilah yang menghambat anak-anak negeri tidak juga berkembang.
Kita punya sejarah yang besar, sejak zaman Sriwijaya, Singasari, hingga Majapahit. Banyak negara-negara yang sekarang disebut negara maju ini dulu belajar teknologi di sini. Di saat negara-negara maju dulu baru mampu bikin alat musik berupa gitar yang terbuat dari kayu, kita sudah bisa memproduksi gong.Â
Kita sudah kenal metalurgi sejak zaman bahuela. Sistem hukum dan pemerintahan kita banyak disadur negara-negara maju Eropa, setelah memeras kitab Nagarakertagama. Bahkan, setelah memeras saripati kitab itu, konon, Belanda kini jadi pusat Mahkamah Internasional karena dinilai paling maju dalam penerapan hukum. Tapi, apa yang bisa kita pelajari dari kebesaran sejarah kita sendiri?
Kritik saya pribadi---sesuai dengan pengalaman saya---selain minder, bangsa ini maunya juga instan. Tengok saja bagaimana sumber daya manusia di negara ini dididik dan dibentuk. Dalam definisi pendidikan formal yang kita pahami sekarang ini, sekolah atau kampus favorit/unggulan adalah tempat belajarnya "anak-anak pintar". Yang bisa diterima dan diolah di lembaga-lembaga kelas itu adalah mereka yang sudah punya bibit pintar.Â
Lha kalau begini caranya, ini sih namanya bukan pendidikan, tapi 'panggung drama'. Bukankah pendidikan adalah suatu proses untuk mencerahkan? Kenapa juga mencerahkan yang sudah cerah? Apa itu tidak sama saja dengan menggarami lautan?
Kalau menurut penulis, seharusnya sebuah lembaga pendidikan pantas disebut 'favorit' karena berhasil mendidik anak-anak yang (maaf) tidak cerdas menjadi cerdas. Mengeluarkan seseorang dari kegelapan menuju terang. Itulah tujuan pendidikan yang pernah digagas oleh Ki Hajar Dewantara dulu. Pendidikan adalah mengolah batu menjadi permata.Â
Nah, berangkat dari sini, seharusnya sekolah atau kampus favorit itu justru menerima anak-anak yang secara akademik kurang bagus, dan tugas mereka adalah menjadikan mereka bagus.
Tapi, kan, tidak seperti itu. Anak-anak yang secara akademik kurang bagus---seperti penulis ini contohnya---tidak diterima di kampus favorit. Akhirnya yang 'bodoh' dibiarkan tetap 'bodoh', dan yang 'cemerlang' semakin gemilang.Â
Belum lagi ongkos pendidikan sekolah favorit itu yang nauzubillah mahalnya. Kalau pemerintah mau serius mencetak 'generasi penerus bangsa yang gilang gemilang', ya harusnya tidak segan-segan mengeluarkan beasiswa untuk anak-anak yang belum berprestasi (secara akademik), terutama dari keluarga kurang mampu.
Mendapatkan pendidikan yang layak itu hak setiap warga negara lho. Anak-anak yang 'tidak pintar' itu sebenarnya bukannya mereka tidak mau belajar. Mau. Cuma saja, dalam proses belajar formal, mereka tidak bisa mengoptimalkan potensi mereka. Sebab, kurikulum (yang sepertinya perlu direvolusi) telah mendefinisikan anak pintar adalah mereka yang mampu menghapal materi pelajaran, bukan memahami. Sementara tidak semua orang bagus hapalannya, kan?
Inilah salah satu kelemahan negara ini dalam mengoptimalkan potensi sumber daya manusianya. Ibaratnya begini: Ketika melihat batu, mereka tidak tertarik untuk mengolahnya jadi berharga. Tidak mau menjadikannya akik atau batu perhiasan. Batu, ya, dibiarkan saja menjadi batu yang mangkrak di pinggir jalan. Mereka hanya mau mengolah emas atau berlian yang sudah jadi.Â
Maka dari itu, yang bodoh tidak dianggap, yang pintar dipoles semakin mengkilap. Ujung-ujungnya, berimbas pada seleksi dunia kerja. Yang jenjang pendidikannya tidak tinggi, atau pendidikan tinggi tapi bukan dari 'kampus favorit' tidak pernah jadi prioritas. Yang gampang dapat kerja dengan hasil dan fasilitas memadahi hanya mereka yang dari kampus bagus. Ini, kan, nganu.
Walhasil, kesenjangan dunia pendidikan berimbas pula pada kesenjangan dunia kerja dan perikehidupan lainnya. Kesenjangan inilah yang berpotensi menghadirkan eksploitasi antar-kelas sosial. Ya, karena proses pencetakan sumber daya manusia kita ini masih aneh dan sangat senjang sekali.
Semestinya kita belajar dari Jepang dan Tiongkok. Setelah dihajar bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang langsung menutup diri dari dunia internasional. Tujuannya? Yang untuk membangun kualitas sumber daya manusia dan teknologi domestik secara mandiri.Â
China juga begitu, sempat dijuluki "Negeri Tirai Bambu" ketika negara-negara komunis runtuh, karena saking tertutupnya negara itu dari pasar global. mereka tertutup untuk memperkuat sumber daya manusianya. Hingga ketika kedua negara tersebut  sudah siap menjadi bangsa yang mandiri, barulah mereka membuka hijab internasional, dan diakui sebagai bangsa maju. Iran juga begitu. Dengan semangat kemandirian mereka membangun negaranya. Iran jadi negara kuat, sampai-sampai bikin pusing dunia Barat.
Lha kita? Mana berani seperti itu? Apa yang dilakukan Jepang, Tiongkok, atau Iran itu butuh proses dan ketekunan. Pola pikir instant dibuang jauh-jauh. Pertanyaannya, untuk kita yang kadung terbiasa maunya serba-cepat ini, apa mau seperti itu?Â
Padahal, kalau mau, kita bisa lebih dahsyat, lho, dari Jepang dan Tiongkok. Secara sumber daya alam kita lebih kaya. Dan kita, kan, juga punya lembaga pendidikan---yang seharusnya sudah mampu menyerap metodologi dan teknologi dari dunia maju setelah 75 tahun studi banding. Tapi, apa mau kita melakukannya?
Ya, semua tergantung kemauan sih. Dan keberanian ding. Membangun sumber daya manusia memang bukan hal mudah---apalagi kalau mental masyarakat sudah kayak gini ini. Perlu proses panjang dan berat. Tapi kalau benar-benar mau memulai, inilah momentum yang tepat buat 'Revolusi Mental' secara hakikat---bukan hanya 'lips service' pas kampanye saja. Membangun mental kemandirian itu perlu. Jangan malah minder terus-terusan dipiara.
Seandainya---seandainya lho ya---kita benar-benar mau dan berani seperti itu: Merevolusi mindset dan program pendidikan/pembangunan sumber daya manusia secara mandiri, hakul yakin tidak bakal ada lagi polemik tentang UU Cilaka---yang membuat kita jadi semakin asing dengan diri sendiri, demi sebuah 'apokaliptik' bernama kemudahan investasi asing.
Kalau kita mandiri, kita tidak butuh asing. Merekalah yang butuh kita---sebagaimana sejarah kebesaran bangsa kita dulu.
Ya, untuk sementara, bolehlah kita mimpi soal itu. Mimpi kan gratis...*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H