Naskah ini sudah pernah dipublikasikan di Jawa Pos, Minggu 6 Februari 2005. Ini adalah cerita fiksi pertama yang saya tulis dan setelah itu belum pernah menulis fiksi lagi.
Cerai
Oleh:
Badai Ekananda
"Hughes saja mau cerai..." Winda tak menjawab banyak ocehan rekan sekantor, seruang, sekaligus sahabat hidupnya, Neni. Tangan wanita cantik berlesung pipit itu tetap asyik memegang remote control teve 21 inchi yang menghiasi ruang kerjanya. Sesekali Winda membesarkan volume teve yang tengah menayangkan salah satu program infotainment ternama itu. Saat jeda iklan, Winda memindahkan ke channel lain, namun satu hingga dua menit kemudian kembali ke channel yang menayangkan infotainment tadi.
"Mereka kan selebriti, Win. Sementara kita hanya orang biasa. Bedalah, kehidupan para selebriti itu pasti lebih kompleks," tutur Neni.
"Ah, kamu belum pernah married sih. Bisanya ngomong doang, coba kalo udah ngalamin, baru tahu rasa," balas Winda.
"Selebiriti itu konsep dasarnya popularitas. Saat popularitas meredup, mereka cari segala cara untuk mendongkraknya kembali. Dan berita mengenai perceraian itu, salah satu cara aja." Kalimat Neni meluncur dengan nada agak keras, seraya mencoba menyembunyikan ketersinggungan sebagai wanita 35 tahun yang belum bersuami.
"Aku tidak menikah karena aku ingin berhati-hati Win, itu aja. Aku juga nggak mau kayak kamu begini, belum genap setahun menikah udah berpikir cerai."
Dering telepon menghentikan pembicaraan dua wanita eksekutif itu. "Press release-nya sudah saya siapkan, Pak. Bentar lagi wartawan pada ngumpul di sini. Press kit dan uang transport-nya juga udah beres, Pak. Saya segera ke lobi...."
Dengan tergesa Winda menyambar beberapa map di meja kerjanya, mengambil kamera digital cool pic, dan tak lupa merapikan rambut lurus sebahu yang tampak sedikit acak-acakan.
"Aku turun dulu, Nen. Tapi satu hal, sampai kapan kita para wanita ini menerima saja dunia yang patriakhi begini. Kita ini wanita mandiri, punya uang, kecantikan, segalanya. Bokap nyokap kita juga kaya. Tak selamanya kan wanita harus mengabdi kepada lelaki. Sebaliknya lelaki sudah waktunya mengabdi kepada istri. Dunia masih berputar kok kehilangan satu lelaki. Toh aku masih 27, masih banyak yang ngantri. Talk to you later..."
***
"Pokoknya cerai, titik!"
"Cinta, kamu emosional banget sih. Pikir dong yang jernih, masih banyak celah untuk memperbaiki hubungan kita ini."
"Dimas, aku sudah cukup sabar menghadapi kamu. Aku menikah untuk mencari kebahagiaan, bukan sebaliknya. Kali ini aku serius, aku sudah tunjuk pengacara, dan besok surat gugatannya sudah dimasukkan ke pengadilan negeri."
"Cinta, I love you, I really love you. Janganlah karena masalah kecil, jadi runyam begini. Dimas minta maaf kalau salah. Aku mencintai kamu dan kamulah wanita pilihan untuk mendampingi hidupku selamanya."
Laki-laki setengah baya itu duduk bersimpuh. Sesekali dia mencium kaki Cinta alias Winda, istrinya, yang duduk di kursi rias di dalam kamar mereka. Winda hanya bisa menghela napas, berusaha mengabaikan rengekan laki-laki yang hingga kini dia tidak mengerti bagaimana bisa terpilih menjadi suaminya.
Winda ingat betul ketika kuliah, seperti apa lelaki yang diidamkan menjadi suaminya. Tak harus tampan seperti Brad Pitt, atau segagah Steven Seagel. Dalam keyakinan Winda, lelaki yang tampan atau terutama yang merasa tampan, cenderung tidak setia. Winda juga tidak mengidamkan lelaki sekaya Sultan Bolkiah, karena lelaki kaya cenderung ingin kawin mininal dua.
Lelaki sederhana dan biasa saja, tapi harus pintar. Nggak peduli kerja sebagai apa. Dokter, pengacara, banker, pialang saham atau valas, bahkan wartawan pun masuk kriteria asal dewasa, pintar, dan setia. "Kekayaan bisa hilang, tetapi kepintaran akan ada selamanya," batin Winda suatu ketika.
"Cinta, Dimas mengaku mengaku salah. Dimas berjanji tidak akan menyakiti hati kamu lagi, menyinggung perasaan kamu, apalagi sampai memukul kamu lagi. Swear, itu tidak pernah akan aku lakukan lagi. Apalagi sebentar lagi disahkan UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga, suami mana yang berani menyakiti istrinya. Jangankan menyakiti secara fisik, melukai batinnya saja sudah pidana," tutur lelaki yang nyaris frustasi dengan kekerasan hati istrinya ini.
"Jangan bawa-bawa UU di sini deh. Toh penerapannya belum tentu seideal aturannya. Siapa bayar yang lebih besar, dialah yang pasti menang. Pokoknya begini saja, aku minta cerai."
Dimas menghela napas panjang. Dia mencoba memeluk istrinya, namun tangan Winda menampiknya. "Nggak usah sok mesra..."
"Aku telepon Mama dulu, aku butuh penjelasan, kenapa anaknya membatu seperti ini," Dimas menyela.
"Jangan bawa-bawa Mama dalam masalah kita. Mama sekarang butuh ketenangan. Biar Mama dihibur oleh Mbak Yanti dan Dik Rudi di rumah, nggak perlu diganggu oleh pembelaan kamu seperti itu. Lagian Mama pasti sangat sedih kalau mengingat minggu ini Papa sedang berbulan madu di Eropa dengan istrinya. Meski perceraian itu sudah setahun berlalu, Mama masih sulit melupakan Papa. Maksudku sulit melupakan sakit hatinya. Lapor saja ke Mami Papi kamu sendiri," kata Winda.
"Mami Papi juga sedang sibuk menenangkan Lulu, dia menangis terus, suaminya memaksa minta kawin lagi. Cinta pikir baik-baiklah keputusan cerai itu."
"Nggak, aku mau cerai."
"Jangan ngotot begitu, kamu menyesal sendiri lho, Cinta."
"Menyesal? Apa yang aku sesalkan bercerai dengan kamu? Hari ini kamu minta maaf, tetapi besok menyakiti aku lagi, ada saja cara kamu menyakiti aku. Mulai soal Papa Mama yang nggak bisa mendidik aku, kecongkakan kamu bahwa keluarga kamu lebih kaya, meski kenyataannya kekayaan keluarga kamu nggak ada seujung kuku kekayaan Papaku. Dimas, aku butuh suami yang bisa ngemong aku, bukan seperti sekarang, aku seperti hidup dengan seorang bayi, dan sayangnya bayi itu sudah 40 tahun," teriak Winda. Dimas terdiam.
"Dan, satu hal lagi Dimas yang aku sesalkan dari kamu. Kamu selalu mengungkit masa laluku, sepertinya kamu menyesal menikahi seorang wanita yang tidak bisa mempersembahkan keperawanannya buat kamu. Ungkit saja itu terus, toh keperawananku juga tak pernah kembali. Yang penting sejak awal ketika kamu melamar aku, aku sudah jujur bahwa aku sudah tidak perawan lagi. Waktu itu kamu sok bijak, menerima saja, dan ternyata kamu munafik juga. Memangnya kamu masih perjaka ketika awal menikah? Lihat istrimu yang dulu, akhirnya juga minta cerai karena kamu yang tidak tampan itu ternyata juga doyan selingkuh."
"Aku udah ngantuk Cinta. Aku tidur di kamar sebelah."
***
Trit, trit, triiit.... "Lagi sibuk, Mas Bayu? Aku mau ngomong sebentar aja."
"Mana mau sibuk, kalau yang menelepon Winda yang cantik itu."
"Aku sudah cerai, Mas. Putusannya tadi di Pengadilan Negeri, biasa saja, nggak ada air mata. Dimas juga minta maaf lisan ke aku, setelah hakim mengetokkan palu. Batinku, mestinya aku yang minta maaf ke dia, karena aku yang minta perceraian itu."
"Syukurlah Sayang, satu persoalan dalam hidup kamu sudah tuntas."
"Kapan Mas Bayu ke Jakarta? Saya pikir nggak apa-apa kita mulai membicarakan lebih teknis rencana kita, biar matanglah perencanaannya. Sebelum entar Mas Bayu aku kenalkan dengan Mama dan Papa dan juga keluarga besar."
"Hmm, kapan ya? Kayaknya nggak bisa deh Win..."
"Oh, nggak apa-apa. Aku ngerti kok Mas Bayu sibuk dikejar deadline, nggak usah terburu-buru. Kapan Mas Bayu siap, ke Jakarta dulu baru bareng-bareng ke Mama dan Papa."
"Winda, aku nggak bisa, aku nggak bisa ke Jakarta. Kayaknya juga nggak bisa bertemu orang tua kamu.".
"Maksud Mas gimana, aku nggak ngerti?"
"Winda, jangan marah ya, aku mau jujur sama kamu. Kemarin Pengadilan Agama menolak gugatan ceraiku. Aku... tidak bisa meninggalkan istriku. Toh, kamu tetap pada prinsip kamu tak mau jadi istri kedua ataupun punya suami beristri lebih dari satu, ya mau gimana...."
"Leakkk....!!! Ida Ayu Winda Cantika mengumpat seraya mematikan ponselnya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H