"Dimas, aku sudah cukup sabar menghadapi kamu. Aku menikah untuk mencari kebahagiaan, bukan sebaliknya. Kali ini aku serius, aku sudah tunjuk pengacara, dan besok surat gugatannya sudah dimasukkan ke pengadilan negeri."
"Cinta, I love you, I really love you. Janganlah karena masalah kecil, jadi runyam begini. Dimas minta maaf kalau salah. Aku mencintai kamu dan kamulah wanita pilihan untuk mendampingi hidupku selamanya."
Laki-laki setengah baya itu duduk bersimpuh. Sesekali dia mencium kaki Cinta alias Winda, istrinya, yang duduk di kursi rias di dalam kamar mereka. Winda hanya bisa menghela napas, berusaha mengabaikan rengekan laki-laki yang hingga kini dia tidak mengerti bagaimana bisa terpilih menjadi suaminya.
Winda ingat betul ketika kuliah, seperti apa lelaki yang diidamkan menjadi suaminya. Tak harus tampan seperti Brad Pitt, atau segagah Steven Seagel. Dalam keyakinan Winda, lelaki yang tampan atau terutama yang merasa tampan, cenderung tidak setia. Winda juga tidak mengidamkan lelaki sekaya Sultan Bolkiah, karena lelaki kaya cenderung ingin kawin mininal dua.
Lelaki sederhana dan biasa saja, tapi harus pintar. Nggak peduli kerja sebagai apa. Dokter, pengacara, banker, pialang saham atau valas, bahkan wartawan pun masuk kriteria asal dewasa, pintar, dan setia. "Kekayaan bisa hilang, tetapi kepintaran akan ada selamanya," batin Winda suatu ketika.
"Cinta, Dimas mengaku mengaku salah. Dimas berjanji tidak akan menyakiti hati kamu lagi, menyinggung perasaan kamu, apalagi sampai memukul kamu lagi. Swear, itu tidak pernah akan aku lakukan lagi. Apalagi sebentar lagi disahkan UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga, suami mana yang berani menyakiti istrinya. Jangankan menyakiti secara fisik, melukai batinnya saja sudah pidana," tutur lelaki yang nyaris frustasi dengan kekerasan hati istrinya ini.
"Jangan bawa-bawa UU di sini deh. Toh penerapannya belum tentu seideal aturannya. Siapa bayar yang lebih besar, dialah yang pasti menang. Pokoknya begini saja, aku minta cerai."
Dimas menghela napas panjang. Dia mencoba memeluk istrinya, namun tangan Winda menampiknya. "Nggak usah sok mesra..."
"Aku telepon Mama dulu, aku butuh penjelasan, kenapa anaknya membatu seperti ini," Dimas menyela.
"Jangan bawa-bawa Mama dalam masalah kita. Mama sekarang butuh ketenangan. Biar Mama dihibur oleh Mbak Yanti dan Dik Rudi di rumah, nggak perlu diganggu oleh pembelaan kamu seperti itu. Lagian Mama pasti sangat sedih kalau mengingat minggu ini Papa sedang berbulan madu di Eropa dengan istrinya. Meski perceraian itu sudah setahun berlalu, Mama masih sulit melupakan Papa. Maksudku sulit melupakan sakit hatinya. Lapor saja ke Mami Papi kamu sendiri," kata Winda.
"Mami Papi juga sedang sibuk menenangkan Lulu, dia menangis terus, suaminya memaksa minta kawin lagi. Cinta pikir baik-baiklah keputusan cerai itu."