Aku malu memandangnya. Aku tak sudi memandangnya. Aku rapuh memandangnya. Namun, aku memaksa diriku untuk memandangnya. Aku membekukan diriku saat memandangnya biar tak terbakar sorotan matanya. Aku membasahi wajahku biar tak dihanguskan pancaran wajahnya.
Semua itu tak kuasa. Semua yang telah kurancang untuk membentengi diriku tak mampu menahannya. Sorotan matanya menembus bola mataku. Pancaran sinar wajahnya menghanguskan wajahku -- wajah keegoisanku, wajah kekanakanku, wajah kerapuhanku.
Aku kini hangus, tapi aku tetap ada. Aku tak tiada. Semakin aku hangus dibakarnya semakin aku ada. Kini aku tahu. Ia kehormatanku, kepercayaanku, harapanku, cintaku, membakar aku dengan cintanya. Kini aku sadar bahwa aku ada karena cinta dan untuk cinta aku ada.
Â
***
Kini aku sadar bahwa aku ada karena cinta dan untuk cinta aku ada.
***
Ternyata, ia bukanlah seorang aktris. Ia bukan seorang pemain sandiwara. Apalagi pemain sinetron: bukan! Ia bukanlah itu.
Aku yakin sekarang bahwa tak mungkin ia pun menyindirku, mengejekku, menertawakanku sekalipun aku salah, seperti kebanyakan orang. Aku yakin dia tidak berkedok. Dialah yang meyakinkan bahwa aku ada. Dialah cintaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H