Mohon tunggu...
Metodius Manek
Metodius Manek Mohon Tunggu... Penulis - biarkan hidup mengalir

Tempat belajar yang baik adalah setiap tempat yang dikunjungi. Setiap kali indra menangkap sesuatu atau seseorang, saat itulah saat yang tepat untuk belajar. Oleh karena itu, supaya belajar dengan baik, kunjungilah sebanyak mungkin tempat, aktifkanlah segala indra dan budi, lalu belajarlah dari sana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ada Karena Cinta

7 Juli 2022   00:27 Diperbarui: 7 Juli 2022   00:33 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Selebrasi Kehidupan yang Berkedok/Dok Pribadi

Semua tertawa. Semua menyindir. Semua mengejek. Semua tak serius. Semua berkedok. Semua membunuhku dengan pujian-pujian itu. Tak ada satu pun yang jujur. Yah... semua pujian itu ternyata hanyalah sandiwara untukku.

Kucoba mengadu pandang dengan si dia. Dia kepercayaanku. Dia harapanku. Dia kehormatanku. Dia yang kucintai, yang kuyakini mampu menarikku dari lembah ini. Namun, namun... dia pun seorang aktris sandiwara.

Aku terpaku dan hanya menatap. Aku diam dan membisu. Aku kaku dan mematung. Hanya itulah yang mampu kulakukan. Hanya itulah aku.

***

Semua berkedok. Semua membunuhku dengan pujian-pujian itu. Tak ada satu pun yang jujur. Yah... semua pujian itu ternyata hanyalah sandiwara untukku.

***

Aku bagai tiada. Yah..., aku sungguh tiada. Memang aku tiada. Aku dulu tiada dan akan tiada. Akulah ketiadaan; bahkan aku kurang dari ketiadaan karena aku berdosa --sedang ketiadaan tidak berdosa.

Aku bertanya, "Apa gunanya ketiadaanku? Mengapa aku harus ada kalau aku hanyalah ketiadaan -- bahkan kekurangan dari ketiadaan?"

Aku kembali mengadu pandang. Kuberadu dengan si dia. Dia harapanku. Dia kehormatanku. Dia cintaku.

Ia tersenyum. Lalu, ia tertawa menggoda. Namun, aku tak mampu menggerakan diriku yang sudah dari tadi mematung. Aku tak mampu menggerakkan bibirku apalagi tersenyum. Aku tak mampu berkata apalagi tertawa.

Mulutku terkatup rapat. Bibirku seperti dijahit. Lidahku seperti direkat. Langit-langit mulutku seperti disayat beling. Tenggorokanku kering-gersang. Mulutku seperti disambar jago merah. Lebih-lebih, setelah kupastikan bahwa ia tersenyum padaku -- ia tertawa denganku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun