Dari sejumlah kunjungan ke sejumlah tempat bersejarah, mungkin hari ini adalah yang paling spesial bagi saya. Pasalnya, secara kebetulan, lokasi yang saya kunjungi baru saja secara resmi ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya Jakarta 2024 pada Jumat, 11 Oktober 2024.
Hari ini, Sabtu, 12 Oktober 2024, saya mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke sebuah Mausoleum termegah di Asia Tenggara, Mausoleum O.G Khouw. Kali ini saya datang bersama para pemenang Give Away yang diadakan oleh Kompasianer Ira Latief (pendiri Wisata Kreatif Jakarta) sehubungan dengan acara syukuran atas 16 tahun kiprahnya sebagai tourist guide.Â
Siang ini, secara langsung, Mbak Ira menjadi tour guide kami dan menjelaskan asal muasal berdirinya bangunan megah nan indah di area TPU Petamburan, Jakarta Pusat itu. Mengunjungi lokasi ini memang sudah saya idamkan sejak lama, karena saya sangat menyukai bangunan-bangunan klasik yang seakan melayangkan pikiran ke masa lampau.
Mausoleum merupakan bangunan berdiri bebas eksternal yang dibangun sebagai monumen yang melampirkan ruang interasi atau ruang pemakaman orang atau mendiang. Sebuah Monumen tanpa peringatan adalah cenotaph. Sebuah mausoleum dapat dianggap sebagai sejenis makam, atau makam yang dapat dianggap berada di dalam mausoleum. (sumber: wiki)
Saya tuliskan dulu secara singkat tentang sejarahnya, ya.
Mausoleum O.G Khouw kerap dikenal dengan nama lain Monumen Keabadian Cinta. Monumen ini adalah lambang cinta dari seorang istri, Lim Sha Nio, pada mendiang sang suami, Oen Giok Khouw yang lebih dulu berpulang pada Sang Pencipta.
Jika saja mendiang O.G Khouw sang filantropis beretnis Tionghoa itu bisa bercerita, mungkin beliau akan berkisah bagaimana bahagianya mendapatkan seorang istri yang sangat mencintainya bahkan sampai ajal menjemputnya.
Oen Giok Khouw, salah satu keturunan dari keluarga Khouw, tuan tanah di masa Hindia Belanda. O.G Khouw lahir di Batavia pada tahun 1874. Terlahir sebagai anak tuan tanah tak menjadikan O.G Khouw tumbuh menjadi anak yang sombong. O.G Khouw terkenal sangat dermawan.Â
Ia sangat peduli pada kesehatan dan pendidikan di masa itu. Dua peninggalannya yang masih dimanfaatkan masyarakat Indonesia hingga saat ini yakni, Rumah Sakit Husada (dulu Jang Seng le) dan Universitas Tarumanegara.
O.G Khouw kerap menjadi pelindung dan donatur untuk segala macam kegiatan amal di Hindia Belanda. Kedekatannya dengan pemerintah Hindia Belanda kala itulah yang membuat O.G Khouw mengajukan diri untuk menjadi warga negara Belanda. Saat itu hanya 3 orang yang bisa mendapatkan priviledge tersebut yaitu, Raden Mas Asmaoen, seorang dokter asal Malang, Oey Tiang Hoei dan O.G Khouw.
Walau lahir dan besar di Hindia Belanda, namun O.G Khouw sering pula tinggal di Eropa. Sampai akhirnya dirinya meninggal dunia pada tahun 1927. O.G Khouw kemudian dikremasi di Belanda dan abu kremasinya dibawa dengan kapal SS Prins Der Nederlander ke Indonesia dengan mengarungi lautan selama 3 bulan. Dengan iring-iringan mobil, abu mendiang O.G Khouw dibawa ke Laanhof (sekarang TPU Petamburan). Karena sifatnya yang dermawan dan sangat peduli pada kemanusiaan, banyak sekali yang ingin memberikan penghormatan terakhir padanya.Â
Melihat kenyataan bahwa suaminya dicintai oleh banyak orang karena jasa-jasanya, itu pula yang menjadi alasan lain Lim Sha Nio membangun Mausoleum itu. Agar banyak orang yang bisa terus mengenang sang filantropi di tempat yang sangat indah. Setelah 30 tahun menjanda, akhirnya, Lim Sha Nio menyusul suaminya ke surga. Di tahun 1957 wanita itu meninggal dunia.
Sebelum resmi ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya, Mausoleum ini mengalami sejarah yang juga cukup panjang dan menyedihkan. Ada sumber yang menyatakan Mausoleum ini tak terurus karena pasangan suami istri ini tak memiliki keturunan.Â
Bunker tempat menyimpan abu pasangan suami istri itu yang ada di bawah Mausoleum kondisinya sangat memprihatinkan. Tak hanya kotor, namun tempat itu kadang dijadikan lokasi untuk melakukan tindakan asusila.
Seperti yang kita ketahui bersama, zaman dulu makam warga keturunan Tionghoa itu biasanya berukuran besar dan terdapat mausoleum di atasnya. Hal itu terkait dengan kepercayaan masyarakat Tionghoa akan adanya kehidupan setelah kematian. Sehingga di dalam makam tersebut juga ikut dikubur barang-barang yang sekiranya menjadi kebutuhan para mendiang.
Sayangnya, kondisi tersebut dimanfaatkan oleh sejumlah orang yang tidak memiliki tempat tinggal alias homeless. Mereka memanfaatkan makam tersebut untuk dijadikan tempat tinggal.Â
Nahasnya lagi, bunker Mausoleum O.G Khouw sering dijadikan tempat melakukan hubungan seks orang-orang tersebut. Ada pula yang datang ke sana memang sengajahanya untuk melakukan hubungan seks. Kondisi ini tentunya sangat berbanding terbalik dengan maksud dan tujuan dibangunnya Mausoleum O.G Khouw ini.
Akhirnya, di tahun 2013, Love Our Heritage, sebuah komunitas pencinta sejarah, seni dan budaya Indonesia, yang peduli akan kondisi memprihatinkan tersebut. Komunitas itu kemudian mencari sukarelawan untuk ikut serta membersihkan Mausoleum ini secara berkala.
Tak sampai di situ, beberapa komunitas pecinta sejarah juga mengusulkan bangunan ini masuk dalam Cagar Budaya Jakarta. Sayangnya pemerintah tak langsung merespons hal tersebut. Mungkin ada banyak pertimbangan yang melatarbelakangi mengapa butuh proses panjang untuk menjadikan bangunan ini menjadi Cagar Budaya.
Coba kita lihat dalam aturannya.
Berpedoman pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya UU 11 tahun 2010, yang dimaksud dengan Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.[1]
Sebuah bangunan untuk bisa ditetapkan sebagai situs cagar budaya harus memenuhi kriteria berusia 50 tahun atau lebih, mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa. Selain itu, bangunan tersebut juga harus melalui tahap-tahap pemeriksaan sebelum ditetapkan sebagai cagar budaya dan dicatat di Register Nasional Cagar Budaya. (hukumonline.com)
Nah, bisa jadi, keberadaan Mausoleum ini sempat dianggap belum memenuhi kriteria yang sudah diatur dalam UU negara kita. Ya, walaupun harus melalui banyak tanjakan dan turunan, pada akhirnya Mausoleum O.G Khouw ini diresmikan juga sebagai Cagar Budaya.
Oh, iya. Kalau teman-teman mau buat event atau mau pakai Mausoleum ini untuk kegiatan tertentu seperti syuting film gitu, bisa hubungi pengurus pemakaman. Dengar-dengar di salah satu film horor yang lagi tayang sekarang, ada adegan yang diambil di sini, lho.
Semoga tempat ini terus terawat hingga anak cucu kita masih bisa melihatnya dan semakin banyak kisah cinta abadi seperti pasangan Oen Giok Khouw dan Lim Sha Nio.
Salam sayang,
Ajeng Leodita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H