Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Perempuan Maju Pilkada, "Kalau Terpilih Nanti, Gandeng Kami Ya, Bu!"

5 September 2024   18:56 Diperbarui: 6 September 2024   01:01 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pola pikir semacam ini bisa menjadi baik dan masuk akal jika sang suami merasa benar-benar menyesal dan mau untuk memperbaiki diri, namun bagaimana jika tidak? Apakah bukan malah istrinya terus menjadi bulan-bulanan sang suami? Apakah tidak mungkin kondisinya justru akan semakin parah?

Kasus KDRT lain juga terjadi di Surabaya. Seorang pendeta berinisial MH menganiaya secara berulang selama 10 tahun. Tak hanya sang istri, anak-anaknya pun kerap menjadi korban. Ini jauh lebih miris lagi, bagaimana seseorang yang biasa memberikan ilmu agama justru malah tidak bisa memanusiakan manusia?

"Ah, jangan bawa-bawa pendeta, tergantung manusianya."

Betul! 

Tindakan kriminal memang harus dilepaskan dari embel-embel profesi dan latar belakangnya. Hal itu bisa terjadi tergantung dari bagaimana manusia bisa me-manage dirinya sendiri.

Kejadian lain lagi, terjadi di lingkungan dekat rumah saya. Perempuan yang tidak dicukupi oleh sang suami karena suaminya hanya bekerja serabutan. Namun sang istri juga tidak bisa melakukan apa-apa karena dirinya pun tidak bekerja. Mau minta cerai pun bingung dengan kebutuhan anak-anak mereka yang masih kecil yang kemungkinan besar hak asuh akan jatuh ke tangan ibunya. Hal yang sering terjadi ketika uang mereka habis adalah ribut sampai tetangga tahu. Adegan pemukulan sudah menjadi konsumsi bagi sang istri dan tak dapat dihindari.

Dari tiga kejadian tersebut bisa diambil benang merahnya, perempuan yang memang diberikan oleh Tuhan kesabaran seluas samudera, hati yang pemaaf dan jiwa yang pasrah terkadang tidak selalu beruntung dengan anugerah itu. Banyak oknum yang dengan sengaja malah justru memanfaatkan "kelemahan" itu sebagai alat untuk bisa memperlakukan perempuan sesuka hati mereka.

Dari tiga kejadian itu pula, bisa terlihat para perempuan itu sudah sampai di titik lelah dan akhirnya mau buka suara terkait KDRT yang mereka terima dari laki-laki yang pernah bersumpah pada Tuhan akan menjadi pasangan yang sehidup semati yang akan terus menjaga, mencintai dan menyayangi seumur hidup.

Walaupun sudah ada undang-undang yang melindungi hak perempuan tapi apakah harus menunggu jatuh korban dulu baru kejadian ini berhenti? Apakah tidak bisa dicari jalan keluarnya untuk menjaga perempuan di Indonesia agar tidak mengalami kejadian kekerasan dan semacamnya?

Kira-kira adakah harapan pada para perempuan calon pimpinan daerah untuk bisa menyelesaikan permasalahan ini? Saya pribadi berharap demikian.

Mungkin salah satu gagasannya adalah memperbanyak sosialisasi tentang bagaimana caranya membekali diri untuk menjadi perempuan yang kuat dan mandiri pada banyak perempuan Indonesia baik yang berpendidikan tinggi maupun rendah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun