Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hanya Sekadar Bercerita tentang Ali

3 Agustus 2024   00:02 Diperbarui: 3 Agustus 2024   00:02 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Credit : Kompas.com

Teman lama kembali bertemu, lumrah saja. Banyak terjadi di belahan dunia mana pun. Namun bagaimana teman lama yang sebelumnya hanya sekadar tegur sapa lalu mencoba untuk saling membuka diri dan bercerita tentang kehidupan masing-masing. Ya, hanya sekadar bercerita.

Pertemuan Pertama

Dia di depanku, benar-benar di depan mataku. Bahkan aku bisa menghirup parfumnya dalam-dalam. Ini bukan situasi biasanya seperti ketika aku melihatnya duduk di belakang drumnya, atau ketika kami sedang kumpul bersama kawan-kawan yang lain. Tapi malam ini kami memang sengaja membuat janji temu. Hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

Rasanya seperti akan menjumpai seorang pria dari aplikasi kencan, aku sibuk memilih kata-kata agar perjumpaan kami tidak canggung. Namun, semakin aku berusaha mencari ide pembahasan, justru ide itu seakan menguap dari otak. Sial!

"Eh, ketemu juga sama Dita, apa kabar?" Sebuah sapaan yang rasanya ingin ku tertawakan. Bagaimana tidak? Beberapa minggu ini kami sudah sering ngobrol melalui pesan singkat.

"Eh, ada Ali. Kabar baik, keluarga sehat?" seketika tawa kami pecah tak tertahankan. Persoalan keluarga adalah salah satu pembahasan kami tiap malam. Tidak ada pernikahan yang sempurna, dan kami sama-sama merasakannya.

Ali bercerita bagaimana ia merindukan masa muda; menjadi anak band, nongkrong tiap malam, dan sejumlah aktivitas anak muda pada umumnya.

Kami tumbuh dan besar di sebuah lingkungan yang bisa dibilang cukup menyenangkan. Ketertarikan pada musik membuat kami saling mengenal. Kebetulan kami juga punya tanggal kelahiran yang dekat jaraknya tentunya zodiak kami pun sama. Aku dan Ali pernah punya mimpi untuk merayakan ulang tahun bersama yang sampai saat ini belum pernah ada wujudnya.

Ternyata tak seburuk yang kubayangkan, obrolan kami terbilang cukup lancar, sama lancarnya ketika berbincang melalui gawai. Selalu ada pembahasan yang bisa kami pikirkan dan tertawakan bersama. Walau yang dibahas hanya itu-itu saja, namun rasanya tetap menyenangkan. Entah pengaruh dari suasana atau lawan bicaranya, entah...

Setelah malam itu, kami semakin intens berkomunikasi. Yang mulanya bicara tentang topik tertentu, berubah menjadi hal-hal receh seperti mengingatkan makan atau sekadar pamer foto kopi yang sudah dingin karena lambat diminum. Kami juga kerap menebar kata-kata romantis yang kadang kami tertawakan sendiri. Konyol tapi sangay menyenangkan.

Aku merasa ada hal yang berubah sejak komunikasi ini terus bergulir. Ada rasa butuh yang muncul. Butuh bicara, butuh berkabar, butuh tahu semua tentang Ali. Semua orang akan bilang ini lumrah. Ya, lumrah namun salah.

*

 

Pertemuan Kedua

"Aku mau kumpul sama teman-teman kantor di dekat kantormu, nih. Mau gabung nggak?"

Sebuah pesan singkat dari Ali. Pasti sudah bisa diduga, bagaimana reaksiku, bukan? Jelaslah aku mau menerima tawarannya. Bahkan aku tak memikirkan lagi bagaimana kesan teman-teman kantornya yang mendapati aku datang memenuhi undangan pria beristri itu.

Suasana caf itu cukup cozy, letaknya di sebuah rooftop. Kebetulan malam itu selepas hujan dan pelan-pelan bintang mulai bertaburan. Sempurna!

Berkumpul bersama teman-teman pria bukan hal aneh bagiku. Cara mereka berinteraksi selalu memunculkan tawa. Hal itu pula yang kutangkap di malam itu. Aku bisa ikut tertawa mendengar celoteh Ali dan rekan-rekan kerjanya walaupun terkadang aku tak mengerti apa yang tengah mereka bahas.

Waktu seakan bergulir terlalu cepat, satu per satu dari mereka pun pulang. Tinggal aku dan Ali berdua saja. Sepertinya pria berhidung bangir itu memang menunggu momen ini untuk bisa menceritakan banyak hal padaku.

"Dit, aku mau cerita."

"Nggak boleh!" ledekku.

"Serius, lho!" Wajahnya nampak serius.

"Biasanya juga langsung ngomong. Kenapa, Li?"

"Sebenarnya di belakang istriku, aku juga punya hubungan sama perempuan lain. Tapi kami udah selesai, dia merasa hanya sebagai pelarian aja,"

Rasanya sesak, entah kenapa. Seharusnya aku tidak perlu merasakan itu, kan? Jelas kami tak punya hubungan lebih dari sekadar kawan lama.

"Lalu? Kamu masih sayang sama dia?" rasanya seperti tercekat menanyakan hal itu, namun rasa ingin tahu ini begitu besar.

"Nggak tahu, bingung. Memang rasanya nggak fair, aku punya pasangan, sementara dia cuma nunggu aku punya waktu buat ketemu."

Aku menatap mata Ali dalam-dalam. Aku bisa melihat rasa kehilangan itu. Sorot matanya menunjukkan luka. Luka yang mungkin tak banyak yang bisa melihatnya, bahkan si pemilik luka itu pun mungkin tak menyadarinya.

Ali pernah menceritakan bagaimana ia merasa dirinya tak pernah cukup sebagai suami. Ia selalu merasa kurang berdiri di samping istrinya yang mandiri itu. Mungkin itulah salah satu alasan ia mencari sosok lain yang bisa menutupi kekurangannya.

Aku sama sekali tak punya minat untuk melanjutkan pembahasan ini. Jujur, malam itu rasanya hanya ingin memeluknya erat dan mengatakan, "Li, aku sayang sama kamu."

Aku dan perempuan selingkuhannya itu sama. Sama-sama membutuhkan sosok Ali dan bersamanya lebih lama. Sayangnya nasibku lebih nahas, karena perasaanku hanya aku yang tahu.

Pertemuan Ketiga

Apa yang kalian harapkan? Tidak ada pertemuan ketiga. Kami sudah sama-sama kembali pada kehidupani masing-masing. Kami sudah tak lagi saling bertanya kabar. Sudah tak lagi menyisipkan kata-kata romantis yang membuat penasaran. Kami kembali menjadi kawan lama yang hilang komunikasi. Menjadi dua orang asing yang (mungkin) hanya bisa merindu dalam diam.

Namun ada 1 hal yang tak pernah berubah, tanggal ulang tahun kami berdua yang hanya berjarak 2 hari saja. Tanggal kelahiran yang membuatku selalu mengingatnya.

Dear Ali,

Apa yang kutulis ini mungkin tak pernah kau bayangkan sebelumnya. Jangan risau, ini bukan cara untuk membuatmu merasa bersalah karena tak pernah memahami keadaan ini. Aku perlu melepaskan semuanya hanya demi 1 kata, lega.

Selamat ulang tahun, Ali.

Kamu harus bisa berdamai dengan rasa kurang pada dirimu yang selalu kamu gadang-gadang menjadi penghalang untuk bahagia. Kamu harus bisa berdamai dengan semua lukamu. Kamu harus bisa memaafkan dirimu. Jika suatu saat nanti kita bisa kembali membuat janji temu, aku ingin menemukanmu dalam versi terbaru. Ali dalam versinya yang bahagia.

Bekasi, 03 Agustus 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun