Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Marak Aksi Remaja Bunuh Diri, Kurangnya Self Love pada Anak?

22 Oktober 2023   23:55 Diperbarui: 23 Oktober 2023   13:35 1402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perlunya self love pada anak. (Dok jcomp/ Freepik via Kompas.com)

Pun memahami kondisi anak dan menerima kekurangannya membuat anak merasa nyaman. Dekat dan bersedia akrab dengan teman-teman sekumpulannya pun membuat anak-anak bisa mencintai orangtuanya, lho.

Merencanakan masa depan

Selama ini yang terjadi adalah hanya orangtua yang membuat perencanaan masa depan pada anak-anaknya. Mengapa tak coba melibatkan anak-anak dalam mencapai itu? Tanyakan apa yang menjadi minat mereka? Apa hal tersebut selanjutnya bisa menjadi cita-cita? Apa cita-cita itu kemudian bisa menjadi bekal masa depan mereka? Buatlah coret-coretan iseng tahap-tahap yang harus dilewati jika anak ingin menggapai cita-citanya. Mungkin dengan menabung, mengikuti les atau kursus, mengurangi waktu bermain, menerapkan ini dan itu. Bangun keyakinan dan kepercayaan diri anak-anak untuk mencapainya.

Menemukan circle yang tepat

Tak banyak orangtua yang kenal baik dengan teman-teman anaknya. Mungkin sibuk, mungkin sungkan, mungkin juga anaknya yang melarang. Sebagai orangtua, kita pasti tahu celah untuk bisa masuk dalam circle anak-anak kita. 

Buat sebuah pendekatan yang terlihat normal. Jangan secara terang-terangan ingin tahu apa yang circle anak kita biasa lakukan. Bukannya menunjukkan mereka malah ketakutan pastinya. Buat acara kumpul-kumpul di rumah bisa sebulan 2-3x. 

Ikut ngobrol, jadi orangtua yang bisa dicurhati teman-teman anak juga. Bangun kenyamanan di antara kita dan mereka, sehingga jika ada hal ganjil yang terjadi pada anak kita, inner circle-nya langsung peka.

Metode-metode di atas bukan tanpa alasan yang melatarbelakangi. Saya bukan orang yang hidup tanpa masalah, tapi orangtua saya sudah menerapkan poin-poin tersebut sejak saya kecil.

Saya diberi kesempatan belajar dengan pola saya sendiri. Tak ada tekanan. Paling jika nilai rapor saya jelek, mama cuma bilang, "Ini pola belajar kamu ada yang salah nggak kira-kira?" sepotong kalimat itu cukup rasanya sebagai warning buat saya.

Jika saya ada masalah di sekolah, mungkin ribut dengan teman, mama nggak langsung tembak "Kamu kenapa?". Tapi mama coba membuka obrolan dengan, "Waktu mama kecil, di umur segini, pernah loh mama berantem sama teman sekelas. Tapi ya terus baikkan lagi, masa sekolah itu cuma sebentar, masa mau dipakai berantem, sih?"

Mama dan papa saya juga nggak melarang saya pacaran dulu. Menurut mereka punya pacar di sekolah itu jadi bikin semangat. Kalau nilai kita jelek pastinya malu. Walau nggak dilarang, tapi tetap diingatkan batasan-batasan yang harus saya jaga. Makanya saya selalu kenalkan pacar saya ke orangtua, jadi nasihatnya bisa didengar bareng-bareng, hehhee.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun