Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Pandainya TikTok Shop Memanjakan Kaum Quick Commerce

18 September 2023   17:11 Diperbarui: 19 September 2023   12:35 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi live shopping. (Dok Shutterstock via Kompas.com)

Sejak 2012 saya sudah akrab dengan e-commerce. Awalnya saya membeli berbagai produk di sana untuk saya pakai sendiri. Kemudian saya mulai membeli produk dari e-commerce untuk saya jual kembali dengan sistem dropship. Di mana saat nanti barang dikirim pada pembeli akan diletakkan nama online shop saya di box pengiriman. 

Saat itu saya berjualan di Facebook dan Instagram dengan cara upload foto produk dan memberikan caption berupa detil material, ketersediaan ukuran dan varian warna. Produk yang saya jual adalah sandal dan sepatu buatan lokal untuk perempuan.

Review customer. (Dokumentasi pribadi)
Review customer. (Dokumentasi pribadi)

Review customer. (Dokumentasi pribadi)
Review customer. (Dokumentasi pribadi)

Walaupun saya meraup keuntungan yang lumayan, tapi lumayan juga risiko yang harus saya tanggung. Mulai dari ukuran, warna, sampai modelnya kadang tidak sesuai dengan yang saya pesan. 

Alhasil, banyak komplain berdatangan dari para customer. Ada yang hanya mengeluh, minta tukar yang sesuai, ada pula yang minta refund. Model sandal dan sepatu yang saya jual mayoritas adalah replika yang diambil dari model produk luar negeri, seperti dari Korea, Cina, Hong Kong, dan Amerika. 

Sayangnya, foto-foto yang diberikan oleh penjual bukan yang replika, melainkan foto asli produk luar. Sehingga para pembeli jadi punya ekspektasi berlebihan.

Komplain yang sering terjadi adalah "barangnya nggak mirip dengan foto.". Padahal harga asli produk impor mulai dari 300k, sementara produk replika hanya kisaran 50k-80k saja. Dari sini bisa terlihat mana pembeli yang cerdas dan mana yang kurang, hehehe.

Mendapatkan komplain dari reseller jelas saya pun komplain balik ke seller di e-commerce tersebut. Walaupun tidak semua komplain saya proses, lho.

Saya juga melihat mana yang masuk akal dan mana yang mengada-ada. Sebelum mereka order saya sudah jelaskan beberapa hal termasuk kemiripan foto dengan barang datang kisaran 60-70%.

Namun jujur, fitur complain di e-commerce yang saya pakai saat itu menurut saya sangat ribet sekali. Kita tidak bisa langsung menghubungi penjual. Semua komplain harus melalui sistem e-commerce. 

Belum lagi jika seller tidak amanah, kadang complain kita hanya dibiarkan tanpa kejelasan. Kita nggak tahu di mana toko fisiknya, seperti apa penjualnya, dan bagaimana tipikal penjualnya menghadapi keluhan pembeli. 

Kita hanya bisa menilai dari rating yang ada di profil mereka yang ternyata rating itu pun bisa hasil dari akal-akalan penjualnya. Dengan order barangnya sendiri dan memberi rating sendiri dari second account mereka.

Melihat kondisi ini, saya mulai berpikir, harus ada plan lain untuk tetap mempertahankan bisnis kecil-kecilan ini.

Mulailah saya memberanikan diri untuk ambil langsung produk di produsen. Itu pun tidak mudah. Saya harus cari info ke sana sini sampai akhirnya saya tahu, sepatu lokal yang selama ini saya jual pabriknya ada di kawasan Bogor.

Saat itu, reseller saya hampir mencapai 30 orang. Rata-rata berdomisili luar Jakarta, bahkan sampai ke Papua. Makanya saya berani untuk stok barang di rumah. Selain harga jual saya jadi lebih murah, saya juga bisa melakukan sendiri qality control atas barang yang saya jual.

Di sini peran e-commerce memang cukup besar untuk UMKM seperti saya dulu. Produk yang saya jual berawal dari Bogor bisa dikirim ke seluruh Indonesia. Saya nggak perlu buka toko, hanya cukup rajin post produk di social media bahkan sambal rebahan. 

Saat itu saya juga bekerja. Jadi, double income istilahnya. Tapi bisnis ini tidak saya lanjutkan, karena saya pernah ada dinas luar kota selama 2 tahun, sisa barang saya sale habis-habisan, sementara yang masih belum terjual saya berikan pada tetangga yang mau.

Sumber: hitoko.co.id
Sumber: hitoko.co.id

Dua tahun belakangan saya mulai kenal dengan Tiktok Shop. Beberapa tahun tidak tahu perkembangan berjualan online membuat saya takjub juga dengan inovasi ini. Beberapa kelebihan TikTok Shop untuk seller menurut saya:

  • Seller tidak perlu punya toko fisik,
  • Seller bisa memanfaatkan fitur live streaming,
  • Seller bisa bekerja sama dengan affiliator untuk menjual barang mereka,
  • Seller mendapat tambahan diskon untuk harga jualnya pada buyer tanpa mengurangi keuntungannya,
  • Seller bisa ekspansi penjualan barangnya bahkan sampai luar negeri

Selain keuntungan untuk seller, pihak buyer tentu dapat keuntungan pula, antara lain:

  • Buyer bisa tanya jawab langsung dengan seller saat live streaming berlangsung
  • Buyer bisa mendapatkan informasi detil tentang produt saat seller live streaming,
  • Buyer mendapatkan banyak diskon, mulai dari diskon produk sampai free ongkir seluruh Indonesia
  • Buyer yang memiliki minimal 1.500 followers bisa mengajukan diri sebagai afiliator. Atau bisa juga menjadi afilliator otomatis hanya dengan mengikuti arahan dari Tiktok. (Bisa cari di google untuk tahapannya)
  • Buyer bisa komplain melalui fitur yang tersedia, jika tidak ditanggapi tinggal spam chat saja saat live berlangsung, masa sih penjualnya nggak gerah? Hehehe.

Menurut saya sebagai buyer di TikTok Shop, tidak perlu ada wacana untuk larangan pada TikTok Shop untuk terus ada. Keuntungan ada untuk kedua belah pihak, baik untuk seller maupun buyer. Justru, e-commerce lain boleh mengikuti sistem yang sudah dijalankan TikTok ini. 

Bisa dilihat saat ini para buyer dan seller banyak yang beralih karena nilai transparansi lebih jelas di TikTok Shop. Peminat quick commerce sepertinya masih akan bertahan atau justru bertambah. 

Kaum-kaum rebahan akan merasa sangat dimanjakan dengan keberadaan e-commerce terutama yang akan menyajikan pola jualan online dengan menggunakan pola live streaming ini.

Di sini harapan saya untuk para UMKM yang belum terpikir atau justru menolak keberadaan TikTok Shop ada baiknya jangan menutup diri dari teknologi yang makin berkembang. 

Perlu ada perubahan untuk hasil yang maksimal. Mungkin bisa ada campur tangan pemerintah untuk memberikan semacam penyuluhan untuk para UMKM yang masih bingung bagaimana mulai berjualan secara online.

Dengan bersinergi, semoga bisa tercapai perekonomian Indonesia yang lebih baik lagi.

Salam sayang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun