Nairanggana turun dari taksi online, ekor matanya langsung menangkap jendela bagian depan rumah yang pencahayaannya tidak terlalu terang. Pandangannya dilempar ke sudut lain, Naira tak menemukan mobil bapak yang seharusnya sudah terparkir di garasi di jam-jam seperti ini.
Untung saja gadis itu selalu membawa kunci cadangan. Terkadang menjadi asisten dosen membuatnya harus pulang lebih malam.
Sukses membuka anak kunci, indera penciumannya langsung mengendus aroma yang sudah lama ia rindukan. Bergegas sepasang kaki jenjangnya melangkah menuju dapur, "Wah, sup jagung manis ya, Bu?" Naira langsung mendekati sang Ibu yang terlihat sedang serius mengaduk sup dalam panci yang sudah meletup-letup. Â
Muncul rasa heran dalam benak gadis manis itu, kenapa Ibu memasak sup jagung hari ini? Biasanya hanya di momen spesial saja makanan itu tersaji di meja makan mereka.
"Tumben masak sup jagung, Bu? Mau ada acara apa malam-malam begini?"
"Nggak ada apa-apa, Nai. Hanya sudah 3 hari belakangan Ibu kepikiran saja mau masak ini. Â Kadang nggak tega juga sama kamu dan Bapak, tega sekali Ibu membiarkan kalian menunggu momen tertentu hanya untuk semangkuk sup jagung manis?"
Naira tertawa kecil, gurat malu terlukis di wajahnya. Memang, bapak dan anak itu pernah menggerutu perkara itu. Padahal bisa saja Bapak membelikannya di restoran dekat kantornya, tapi sup jagung manis di luar sana tidak seistimewa masakan Ibu.
Malam ini Ibu tampak lebih ceria dari biasanya, senyumnya yang sumringah didukung dengan busananya yang bernuansa jingga menambah unsur kecantikannya. Naira beruntung, ia menurunkan warna mata Ibu yang kecokelatan. Jika mereka sedang jalan berdua, banyak yang mengira mereka bukan ibu dan anak. Melainkan sepasang saudara.
"Parfum ibu baru, ya? Aroma bunga apa ini, ya?"
"Ah, kamu, ada-ada saja. Ibu masih pakai parfum pemberian Bapakmu. Kalau habis, nanti Bapak yang belikan lagi. Sudah sejak dulu begitu, Nai."
 Walau sudah paruh baya, Ibu tetap memiliki pesona. Selain canti dan pintar masak, Ibu juga istri yang penurut. Mungkin itu pula yang membuat Bapak sangat mencintainya. Iya, sangat mencintainya.
"Bu, Bapak ke mana? Mobilnya nggak ada di garasi?"
"Mungkin urusan kantor mendadak, Nai. Sabar, nanti juga pulang."
"Sejak kapan Bapak mau berurusan dengan pekerjaan saat akhir pekan?"
Ibu bergeming,tak satu pun muncul jawaban.
Sejenak Naira meninggalkan Ibu menuju ruang tamu, spot terbaiknya di tiap Sabtu.
Dari ruang tamu siapapun bisa melihat taman depan beranda. Tempat favorit kedua buat ibu setelah dapurnya. Di taman itu banyak sekali jenis bunga. Pagi sampai sore adalah saat yang tepat menikmati koleksi tanaman ibu, namun jika malam hari seperti ini, pencahayaan dari lampu taman adalah pemandangan lain yang juga cukup menyenangkan.
Baru saja Naira menyandarkan kepala di sofa, tiba-tiba ia dikejutkan dengan kemunculan seekor kupu-kupu yang masuk ke ruang tamu tanpa ijin dulu. Tapi kenapa datangnya malam-malam? Padahal banyak bunga yang sedang mekar di taman. Apa kupu-kupu ini lebih berminat dengan masakan Ibu daripada madu? Batin Naira.
"Bu, ada kupu-kupu di ruang tamu," lapor Naira setengah berteriak.
"Rumah kita mau kedatangan tamu artinya, Nai." balas Ibu dari dapur.
Saat masih kecil, Naira kerap bingung dengan jawaban-jawaban ibu yang menurutnya tidak berkaitan dengan pertanyaan yang dilontarkan. Ya, termasuk tentang kupu-kupu itu. Mulanya ia bingung apa hubungannya antara kupu-kupu dengan datangnya tamu? Ternyata itu merupakan mitos yang banyak dipercaya. Hadirnya kupu-kupu dipercaya sebagai firasat datangnya tamu ke rumah yang disambanginya. Ibu sangat percaya pada mitos. Sebagai keturunan Jawa tulen, ibu percaya pada banyak sekali mitos. Tentang anak gadis yang tak boleh makan di depan pintu katanya jauh jodoh, kejatuhan cicak katanya akan ada musibah, tak boleh bersiul di malam hari karena mendatangkan roh jahat ke dalam rumah, dan masih ada seribu seratus tiga puluh sekian lagi mungkin deretan mitos-mitos yang belum sempat dijelaskan. Terlahir sebagai generasi masa kini membuat Naira merasa hal itu hanya karangan orang-orang dulu untuk menakuti anak-anak mereka.
Naira membiarkan kupu-kupu itu hinggap di gordyn jendela yang terus mengepakkan sayap ungunya. Jarang-jarang ia bisa melihat hewan cantik itu sejelas ini. Rasanya ingin menangkap kemudian menyimpannya dalam toples kaca, tapi dia pasti mati karena kehabisan udara.Â
Dari ruang tamu, Naira bisa melihat Ibu yang sudah mulai menata meja makan. Kembali ia teringat bapak yang masih juga belum pulang. Naira merogoh isi dalam tasnya. Ia baru ingat bahwa ponselnya mati sejak masih di kampus tadi.
"Sial, di mana charger-nya?" Naira merogoh kantong-kantong dalam tasnya.
"Astaga, ketinggalan," rutuknya.
Naira bangkit dari duduknya, ia ingin meminjam pengisi battery ponsel Ibu. Baru saja ia bergerak beberapa langkah, terdengar suara sirine ambulance yang cukup kencang. Naira menggeser tubuh mendekati jendela, menyingkap sedikit gordyn yang tertutup. Seketika ia terkejut, satu unit ambulance parkir di depan rumah.
Segera ia membuka pintu, terlihat Bapak setengah berlari mendekat padanya. Wajah Bapak kaku. Matanya sembab. Otak Naira berputar cepat mencoba menemukan jawaban di mata Bapak tanpa harus banyak tanya.
Belum sempat Naira menanyakan apa yang terjadi, Bapak langsung memeluknya erat. Gadis itu makin bingung dengan situasi ini.
"Bapak? Ada apa?" suara gadis itu bergetar.
"Ibu, Nai. Ibu!"
Naira melepaskan diri dari pelukan Bapak. Mundur beberapa langkah, memastikan Bapak baik-baik saja.
"Kenapa Ibu? Itu, Ibu ada di dapur, Bapak cari Ibu?" tanya Naira dengan nada lebih tinggi.
Bapak memperhatikan wajah putrinya, matanya basah. Â
"Ibu udah nggak ada Nai, Ibu sudah pergi." Bapak mengucapkannya pelan.
Seketika tangis pria itu pecah lagi, diiringi sirine ambulance yang semakin nyaring di halaman.
Naira menarik lengan bapak, mengajaknya ke arah meja makan.
"Pak, Bapak lihat itu tadi Ibu masak sup ja ..., " Tenggorokan Naira tercekat, kalimat itu tak bisa ia tuntaskan. Tak ada Sup Jagung Manis di meja makan. Â Bidang datar berbentuk oval itu kosong. Aroma sup favorit mereka yang tadi menguar begitu menggoda pun lenyap tak bersisa. Dapur begitu hening, sepi, tak ada aktivitas yang terjadi. Ibu tak ada di sana. Wangi parfumnya pun raib.
Beberapa tetangga muncul di antara kebingungan mereka. Tanpa diberi aba-aba mereka menggeser kursi-kursi. Naira merasa lemas luar biasa, bibirnya kelu. Tak satu pun kalimat yang sanggup terlontar. Bapak mendekapnya sangat erat. Â
Dua orang petugas mengenakan seragam putih bersama beberapa warga mengangkat sesosok jenazah. Naira memejamkan mata kemudian membuka matanya lagi berharap ia hanya bermimpi. Namun tidak, jenazah itu sudah diletakkan di ruang tengah. Bapak memboyong Naira mendekat ke jenazah yang terbaring.
"Nai, Ibu serangan jantung, tadi sore Bapak coba hubungi kamu, tapi ponselmu mati,"
Naira tak menjawab, ia memperhatikan ponselnya dalam gengaman. Iya, memang mati dan seharusnya ia cepat mengisi kembali baterainya, agar masih sempat ia berbicara dengan ibu.
Satu demi satu tamu berdatangan. Mereka menyalami dan memeluk Naira, satu-satunya anak yang mendiang tinggalkan.
Mata Naira berusaha menemukan keberadaan kupu-kupu yang tadi hinggap di gordyn. Ya, dia masih ada di sana. Berarti perbincangan sesaat dengan ibu tadi bukan mimpi. Seketika terngiang jawaban ibu yang sempat ia dengar ketika mengabarkan saat kupu-kupu itu datang.
"Rumah kita mau kedatangan tamu, Nai."
Iya, ada tamu, tamu ibu.
-Selesai-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI