Naira membiarkan kupu-kupu itu hinggap di gordyn jendela yang terus mengepakkan sayap ungunya. Jarang-jarang ia bisa melihat hewan cantik itu sejelas ini. Rasanya ingin menangkap kemudian menyimpannya dalam toples kaca, tapi dia pasti mati karena kehabisan udara.Â
Dari ruang tamu, Naira bisa melihat Ibu yang sudah mulai menata meja makan. Kembali ia teringat bapak yang masih juga belum pulang. Naira merogoh isi dalam tasnya. Ia baru ingat bahwa ponselnya mati sejak masih di kampus tadi.
"Sial, di mana charger-nya?" Naira merogoh kantong-kantong dalam tasnya.
"Astaga, ketinggalan," rutuknya.
Naira bangkit dari duduknya, ia ingin meminjam pengisi battery ponsel Ibu. Baru saja ia bergerak beberapa langkah, terdengar suara sirine ambulance yang cukup kencang. Naira menggeser tubuh mendekati jendela, menyingkap sedikit gordyn yang tertutup. Seketika ia terkejut, satu unit ambulance parkir di depan rumah.
Segera ia membuka pintu, terlihat Bapak setengah berlari mendekat padanya. Wajah Bapak kaku. Matanya sembab. Otak Naira berputar cepat mencoba menemukan jawaban di mata Bapak tanpa harus banyak tanya.
Belum sempat Naira menanyakan apa yang terjadi, Bapak langsung memeluknya erat. Gadis itu makin bingung dengan situasi ini.
"Bapak? Ada apa?" suara gadis itu bergetar.
"Ibu, Nai. Ibu!"
Naira melepaskan diri dari pelukan Bapak. Mundur beberapa langkah, memastikan Bapak baik-baik saja.
"Kenapa Ibu? Itu, Ibu ada di dapur, Bapak cari Ibu?" tanya Naira dengan nada lebih tinggi.