Bapak memperhatikan wajah putrinya, matanya basah. Â
"Ibu udah nggak ada Nai, Ibu sudah pergi." Bapak mengucapkannya pelan.
Seketika tangis pria itu pecah lagi, diiringi sirine ambulance yang semakin nyaring di halaman.
Naira menarik lengan bapak, mengajaknya ke arah meja makan.
"Pak, Bapak lihat itu tadi Ibu masak sup ja ..., " Tenggorokan Naira tercekat, kalimat itu tak bisa ia tuntaskan. Tak ada Sup Jagung Manis di meja makan. Â Bidang datar berbentuk oval itu kosong. Aroma sup favorit mereka yang tadi menguar begitu menggoda pun lenyap tak bersisa. Dapur begitu hening, sepi, tak ada aktivitas yang terjadi. Ibu tak ada di sana. Wangi parfumnya pun raib.
Beberapa tetangga muncul di antara kebingungan mereka. Tanpa diberi aba-aba mereka menggeser kursi-kursi. Naira merasa lemas luar biasa, bibirnya kelu. Tak satu pun kalimat yang sanggup terlontar. Bapak mendekapnya sangat erat. Â
Dua orang petugas mengenakan seragam putih bersama beberapa warga mengangkat sesosok jenazah. Naira memejamkan mata kemudian membuka matanya lagi berharap ia hanya bermimpi. Namun tidak, jenazah itu sudah diletakkan di ruang tengah. Bapak memboyong Naira mendekat ke jenazah yang terbaring.
"Nai, Ibu serangan jantung, tadi sore Bapak coba hubungi kamu, tapi ponselmu mati,"
Naira tak menjawab, ia memperhatikan ponselnya dalam gengaman. Iya, memang mati dan seharusnya ia cepat mengisi kembali baterainya, agar masih sempat ia berbicara dengan ibu.
Satu demi satu tamu berdatangan. Mereka menyalami dan memeluk Naira, satu-satunya anak yang mendiang tinggalkan.
Mata Naira berusaha menemukan keberadaan kupu-kupu yang tadi hinggap di gordyn. Ya, dia masih ada di sana. Berarti perbincangan sesaat dengan ibu tadi bukan mimpi. Seketika terngiang jawaban ibu yang sempat ia dengar ketika mengabarkan saat kupu-kupu itu datang.