Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tamu-Tamu Ibu

17 September 2023   13:14 Diperbarui: 17 September 2023   14:04 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: jogja.tribunnews.com

Nairanggana turun dari taksi online, ekor matanya langsung menangkap jendela bagian depan rumah yang pencahayaannya tidak terlalu terang. Pandangannya dilempar ke sudut lain, Naira tak menemukan mobil bapak yang seharusnya sudah terparkir di garasi di jam-jam seperti ini.

Untung saja gadis itu selalu membawa kunci cadangan. Terkadang menjadi asisten dosen membuatnya harus pulang lebih malam.

Sukses membuka anak kunci, indera penciumannya langsung mengendus aroma yang sudah lama ia rindukan. Bergegas sepasang kaki jenjangnya melangkah menuju dapur, "Wah, sup jagung manis ya, Bu?" Naira langsung mendekati sang Ibu yang terlihat sedang serius mengaduk sup dalam panci yang sudah meletup-letup.  

Muncul rasa heran dalam benak gadis manis itu, kenapa Ibu memasak sup jagung hari ini? Biasanya hanya di momen spesial saja makanan itu tersaji di meja makan mereka.


"Tumben masak sup jagung, Bu? Mau ada acara apa malam-malam begini?"

"Nggak ada apa-apa, Nai. Hanya sudah 3 hari belakangan Ibu kepikiran saja mau masak ini.  Kadang nggak tega juga sama kamu dan Bapak, tega sekali Ibu membiarkan kalian menunggu momen tertentu hanya untuk semangkuk sup jagung manis?"

Naira tertawa kecil, gurat malu terlukis di wajahnya. Memang, bapak dan anak itu pernah menggerutu perkara itu. Padahal bisa saja Bapak membelikannya di restoran dekat kantornya, tapi sup jagung manis di luar sana tidak seistimewa masakan Ibu.

Malam ini Ibu tampak lebih ceria dari biasanya, senyumnya yang sumringah didukung dengan busananya yang bernuansa jingga menambah unsur kecantikannya. Naira beruntung, ia menurunkan warna mata Ibu yang kecokelatan. Jika mereka sedang jalan berdua, banyak yang mengira mereka bukan ibu dan anak. Melainkan sepasang saudara.

"Parfum ibu baru, ya? Aroma bunga apa ini, ya?"

"Ah, kamu, ada-ada saja. Ibu masih pakai parfum pemberian Bapakmu. Kalau habis, nanti Bapak yang belikan lagi. Sudah sejak dulu begitu, Nai."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun