Jorman menduduki kursi kayu di beranda rumah. Matanya menyipit merasakan hawa panas yang seakan menampar wajahnya yang keriput. Sejak beberapa bulan lalu sudah banyak informasi tentang fenomena iklim yang dianggap seperti tamu tak diundang itu. Kemunculannya ditaksir bak mimpi buruk berkepanjangan, apalagi untuk para petani kopi desa ini yang menggantungkan nasibnya pada cuaca. Banyak yang khawatir namun lebih banyak yang tak peduli, salah satunya si Jorman ini.
Pria berkulit legam dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih itu menghisap rokok lintingnya dalam-dalam lalu mengembuskan asap tebal yang kemudian menimbulkan suara batuk gadis di sebelahnya.
"Merokok terus, merokoklah terus, Kek. Sudah Mamak nggak ada, Bapak nggak ada, Kakek juga mau pergi?"
Jorman tak menimpali ocehan cucu perempuannya itu. Sebelumnya ia tengah asik mendengarkan Mirela yang sibuk mengomentari dengan panik video-video singkat yang mengabarkan tentang datangnya fenomena El Nino. Walau terkesan cuek, namun telinganya menangkap dengan baik isi racauan cucunya.
"El Nino itu seperti kiamat kecil, Kek. Bayangkan kalau jadi dia datang, biji-biji kopi kita itu bisa gagal panen, lho. Kakek nggak takut?"
"Sepertinya kita butuh AC, supaya agak sejuk rumah ini. El Nino itu katanya panasnya luar biasa. Mamaknya kawanku jualan AC, bisa kita ambil kredit sama dia. Mau nggak, Kek?"
Jorman tak menanggapi ucapan-ucapan Mirela. Selain memang karena merasa tak perlu menjawabnya, ia pun tahu benar jika dilanjutkan pembicaraan ini tak akan ada ujungnya.
Sejak usia 2 tahun, Mirela diasuh Jorman. Ibunya meninggal dunia saat melahirkannya, ayahnya pun menyusul karena sebuah kecelakaan kerja. Mirela punya banyak mimpi, salah satunya melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah. Sayangnya, Jorman tak memiliki cukup dana untuk menjangkau harapan cucu satu-satunya itu.
*
Pukul 8 pagi Jorman dan puluhan warga petani berkumpul di kantor desa. Mereka memenuhi undangan untuk mendapatkan penyuluhan dari Dinas Pertanian dan Dinas Kesehatan dalam menghadapi El Nino ini. Â Seorang pria muda berdiri di depan, ditaksir usianya lebih tua beberapa tahun saja dari Mirela. Banyak informasi yang ia sampaikan, salah satunya adalah kiat-kiat yang harus dilakukan para petani dalam mengantisipasi gagal panen; memelihara tanaman penaung kopi, pengaplikasian mulsa dan pupuk organik, sampai dengan peningkatan ketersediaan air yang saat ini masih mungkin dilakukan karena hujan masih datang.
Sejak awal Jorman enggan datang. Bahkan sama sekali tak berminat mendengar apapun yang disampaikan. Ia memilih duduk di barisan paling belakang. Kalau bukan karena Pak Kades yang mengantar undangannya langsung, tak akan ada niatnya menghabiskan pagi di tempat ini. Jari-jari Jorman menjepit puntung rokok yang sesekali tetap ia hisap karena yakin tak ada yang melihat. Di sebelahnya duduk Si Parlan, sahabat kecilnya sejak masih sama-sama main bola hingga sama-sama jadi duda tua.
"Ada kau simak anak muda itu bicara, Lan?" tanya Jorman berusaha berbisik.
"Iyakan saja, Man. Biar cepat apa-apa ini selesai," jawab Parlan santai.
"Nenek moyang kita bisa bangkit dari kubur kalau ilmu kita kalah dari orang-orang muda itu. Malu sama umur!"
Tanpa sadar keduanya terbahak, pria muda yang sedang memberikan penyuluhan seketika menghentikan kata-katanya.
"Maaf, tadi kawan awak ini haus katanya, lucu awak dengarnya. Nggak adakah kopi-kopimu ini, Pak Kades?" Jorman berusaha mencairkan suasana dan mengalihkan sorot mata puluhan orang di sana yang mengarah pada mereka berdua.
*
"Sudah acaranya, Kek? Bahas apa rupanya?" sapa Mirela menyambut Jorman yang baru pulang.
"Bahas ilmu yang sudah kutahu sejak bayi,"
"Ih, sombong kali, lho. Nggak boleh begitu, mereka itu orang-orang pintar, Kek."
"Kau pun pintar, pintar ngomong!"
Mirela mendadak kesal mendengar jawaban spontan kakeknya. Wajahnya ditekuk 13.
"Eh, Mir. Menurutmu, Kakek harus dengarkan saran orang-orang di kantor desa tadi? Musim panas ini kan bukan kali ini saja, gara-gara banyak sekarang video-video jadi ramai sekali. Gagal panen juga biasalah, tapi kami tetap hidup. Kau bisa sampai sebesar ini juga, artinya kan kita tetap makan."
Mirela menatap wajah kakeknya dalam-dalam. Entah, ia begitu senang diberi kesempatan yang jarang seperti ini.
"Aku sempat ngobrol sama si Santi kawan sekolahku dulu, Kek. Dia kan sekarang kuliah di jurusan pertanian. Ada dia bilang pemerintah itu akan membantu petani dalam menghadapi El Nino ini. Jadi, petani nggak dibiarkan berpikir sendiri. Itulah kenapa orang-orang tadi datang kasih penyuluhan di kantor desa."
"Halah, pemerintah. Sudah nggak percaya kakekmu ini sama pemerintah itu. Janji-janji terus. Mati kita makan janji. Tahu mereka mana yang bisa dibodohi, petani macam awak inilah korbannya!" Jorman mendadak sengit.
"Di sini awak nggak sebut petani itu bodoh, karena awak ini diasuh sama petani sampai sebesar ini. Tapi, teknologi itu kan berkembang, Kek. Jangan menutup diri untuk menerima ilmu-ilmu baru. Ini bukan soal membandingkan cara bertani tradisional dengan moderen, hanya saja jika memang ada yang perlu di-upgrade, kenapa nggak dilakukan?"
"Apa itu upgrade?"
"Meningkatkan apa yang sudah kita punya. Misalkan, kakek sudah tahu cara bertani yang benar, tapi muncul teknologi yang jauh lebih efektif dan efisien, kan nggak salah juga dicoba?"
Merasa penjelasannya kurang cukup, Mirela bergegas meraih ponselnya. Setelah beberapa menit menggeser-geser layar, ia menunjukkan pada Jorman sebuah video tentang program pemerintah yang sudah lebih dulu mulai di beberapa daerah. Hasil panen mereka cukup sukses, bahkan dalam menghadapi kemarau panjang, para petani tak lagi dihinggapi ketakutan. Berbekal ilmu dan dukungan biaya dari pemerintah membuat para petani lebih percaya diri.
*
Dua minggu berlalu, program yang dijanjikan pemerintah mulai dijalankan. Puluhan petani yang sudah mendapatkan penyuluhan mulai melaksanakan implementasi. Mulai dari uji tanah, pemilihan bibit unggul hingga pembuatan sistem irigasi.
Banyak harapan dari wajah-wajah itu. Salah satu di antara mereka adalah Jorman, si kakek keras kepala yang luluh setelah diajak bicara cucunya. Parlan, sahabatnya, terkejut melihat Jorman dengan semangatnya.
"Ada kau simak cakap anak muda tempo hari itu, Man?" ledek Parlan mengingatkan kata-kata Jorman saat penyuluhan di kantor desa lalu.
"Kimbeknya kau, Lan. Aku salah, karena aku duduk dekat kau, jadi nggak ada fokusku sama apa yang mereka bilang. Untung ada cucuku si Mirela. Dapatlah aku ilmunya. Kalau nanti panen sukses, kudaftarkan dia kuliah, biar nggak bodoh macam kita berdua, Lan."
"Bodoh kau rupanya, Man? Kenapa pula aku mau temanan samamu?"
Lagi dan lagi dua petani itu terbahak bersama, namun kali ini dengan makna yang berbeda.
Terkadang, memang harus ada minimal satu kali dalam hidup sebuah obrolan yang serius lintas generasi seperti Jorman dan Mirela. Yang muda diberi kesempatan bicara, yang tua berbesar hati untuk menerima.
-Selesai-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H