Sejak awal Jorman enggan datang. Bahkan sama sekali tak berminat mendengar apapun yang disampaikan. Ia memilih duduk di barisan paling belakang. Kalau bukan karena Pak Kades yang mengantar undangannya langsung, tak akan ada niatnya menghabiskan pagi di tempat ini. Jari-jari Jorman menjepit puntung rokok yang sesekali tetap ia hisap karena yakin tak ada yang melihat. Di sebelahnya duduk Si Parlan, sahabat kecilnya sejak masih sama-sama main bola hingga sama-sama jadi duda tua.
"Ada kau simak anak muda itu bicara, Lan?" tanya Jorman berusaha berbisik.
"Iyakan saja, Man. Biar cepat apa-apa ini selesai," jawab Parlan santai.
"Nenek moyang kita bisa bangkit dari kubur kalau ilmu kita kalah dari orang-orang muda itu. Malu sama umur!"
Tanpa sadar keduanya terbahak, pria muda yang sedang memberikan penyuluhan seketika menghentikan kata-katanya.
"Maaf, tadi kawan awak ini haus katanya, lucu awak dengarnya. Nggak adakah kopi-kopimu ini, Pak Kades?" Jorman berusaha mencairkan suasana dan mengalihkan sorot mata puluhan orang di sana yang mengarah pada mereka berdua.
*
"Sudah acaranya, Kek? Bahas apa rupanya?" sapa Mirela menyambut Jorman yang baru pulang.
"Bahas ilmu yang sudah kutahu sejak bayi,"
"Ih, sombong kali, lho. Nggak boleh begitu, mereka itu orang-orang pintar, Kek."
"Kau pun pintar, pintar ngomong!"