Munculnya media sosial sejak awal tahun 2000an mengubah pola hidup banyak orang. McGraw Hill Dictionary mendefinisikan media sosial adalah sarana yang digunakan oleh orang-orang untuk berinteraksi satu sama lain dengan cara menciptakan, berbagi, serta bertukar informasi dan gagasan dalam sebuah jaringan dan komunitas virtual.
Media sosial juga memiliki jenis yang beragam. Salah satunya adalah jejaring sosial, diantaranya Facebook (FB), Instagram (IG) dan TikTok (TT). Untuk kaum IRT yang juga bekerja seperti saya, media sosial adalah sarana menunjukkan sisi lain diri sendiri. Bukan menghilangkan identitas asli, lho. Hanya saja ada keluhan yang tidak bisa disampaikan di dunia nyata yang akhirnya mencoba mencari tempat mengeluarkan uneg-uneg. Hal itu bisa jadi karena tidak ada lawan bicaranya. Bisa juga karena tidak adanya kesamaan minat. Jika disimpan sendiri bisa muncul jerawat.
Contoh yang paling dekat, saya hobi menulis. Tapi di circle saya baik di kantor atau di rumah, tidak ada yang memiliki hobi yang sama. Sama pernah coba ajak atau kadang meminta mereka untuk membaca tulisan-tulisan receh saya, namun sepertinya mereka tidak tertarik. Apa saya harus memaksa? Tidak. Dan apakah saya harus menghentikan hobi saya? Itu lebih tidak mungkin.
Oleh karena itu, saya merasa media sosial adalah tempat lain yang bisa memberikan kenyamanan itu. Saya lebih punya banyak teman dengan minat yang sama yang saya temukan di media sosial. Kami punya komunitas menulis, saling tukar pikiran, saling mengoreksi dan menerima masukan. Walaupun tidak selalu berjalan harmonis, karena gesekan itu selalu ada di berbagai lini.Â
Namun, semua itu proses. Setiap orang pasti pernah mengalaminya. Saya juga kerap curhat di media sosial. Tapi di sini bukan mengeluhkan permasalah yang saya alami di lingkungan kerja, lingkungan rumah apalagi masalah dalam rumah tangga sendiri. Yang menjadi bahan keluhan saya biasanya mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah soal kenaikan harga ini-itu, kebijakan di sekolah anak, kadang juga mengenai berita-berita viral yang bisa didiskusikan secara sehat. Saya menemukan kepuasan itu di media sosial.
Tapi ada pula yang menjadikan media sosial untuk "melarikan diri" dari dunia nyata. Menjadi sosok yang benar-benar berbeda. Menjadi akun yang menyerang seseorang secara personal. Menggunakan nama samaran, foto palsu, dan segenap identitas anonim lain yang mendukung usahanya untuk menyamar.
Mayoritas orang membagikan status dan foto/video aktivitasnya di story whatsapp, namun tidak demikian dengan saya. Saya jarang membagikan foto/video di sana melainkan mengalihkannya ke IG atau FB. Apa sebab? Karena di dua platform tersebut kita bisa menyimpan foto-foto dalam waktu lama dan setiap tahun akan diingatkan lagi dengan kemunculannya di timeline kita, bahkan kita bisa memilih mau me-repost lagi atau tidak. Hal itu jelas lebih menyenangkan, bukan?
Saya sering membagikan foto atau video aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan baik di kantor maupun saat dinas luar, aktivitas dengan teman-teman sesama Blogger, atau post tulisan-tulisan yang kerap saya buat di blog pribadi atau pun di Kompasiana.
Saya juga suka melakukan live streaming Tiktok dengan karaoke yang lagu-lagunya bisa diambil dari YouTube. Kadang saya melakukannya sendiri, kadang pula bersama komunitas menyanyi yang saya buat bersama teman-teman di platform digital video itu.
Nah, media sosial seperti FB, IG dan TT memiliki fitur mensinkronkan akun kita dengan nomor ponsel yang kita gunakan untuk registrasi. Hal itu memungkinkan pihak-pihak yang menyimpan nomor ponsel kita yang menggunakan media sosial yang sama mendapatkan saran otomatis untuk menambahkan akun kita sehingga antara kita dan mereka menjadi terhubung.Â
Awalnya saya anggap itu bukan masalah besar. Saya merasa tidak melakukan hal yang salah dengan media sosial saya ini. Entah saya atau mereka yang lebih dulu mengajukan tambah pertemanan, yang pasti saya tidak menutup kemungkinan tersebut.