Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Kejutan dari Setetes Parfum

29 Agustus 2023   03:09 Diperbarui: 29 Agustus 2023   03:22 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: pngwing.com

Marry Smith masih terpaku di Brompton Cemetery, di depan sebuah nisan yang bertuliskan nama Jade Wilson, kekasihnya. Jasad Jade ditemukan di sudut area parkir Trafalgar Square. Kepolisian Britania Raya masih belum bisa mengungkap motif dibalik pembunuhan Jade. Banyak kasus kriminal di kota ini yang tak pernah selesai.

*

"Aku tahu kau kehilangan, tapi kau harus bangkit. Kematian itu takdir, Marry."

Marry menatap Emily, sahabatnya, dengan mata berkaca-kaca.

"Kehilangan Jade tidak sesederhana ucapanmu. Jika kau sahabatku seharusnya kau tahu itu!" pungkasnya.

"Dia terlalu posesif, kau seperti mayat hidup di sebelahnya, kau tak bisa melakukan hal selain Jade dalam hidupmu!"

Marry bergegas bangkit dari duduknya seraya meninggalkan sahabat perempuannya itu buru-buru.

Emily melempar kaleng bir di tangannya dengan kekuatan penuh, hingga terpental mengenai tembok kemudian jatuh ke lantai dan menimbulkan suara yang cukup berisik. Ia kesal dengan sifat keras kepala Marry yang tak pernah berubah sejak dulu. Sayangnya, ia tak dapat meninggalkan gadis itu sendirian. Marry sangat rapuh, ia tak memiliki siapa pun di kota ini.

*

Semalam, Jade mendatangi Marry dalam mimpi. Pria itu berdiri mematung sejauh 50 meter di depan kekasihnya. Wajahnya murung, sama sekali tidak terlihat damai dengan kematiannya.

Kondisi jalan yang gelap membuat Marry sulit melihat apa yang ada di tangan kanan Jade. Saat dirinya mencoba maju beberapa langkah, Jade justru mundur menjauh beberapa langkah lebih banyak.

"Aku rindu, Jade. Jangan menjauh,"

Jade masih bergeming.

"Ingin memberitahu sesuatu? Ayo, beritahu padaku, Jade,"

"Lusa adalah malam ulang tahunmu, rayakan seperti biasa. Di apartemenku masih tersisa banyak Cabernet Franc. Bersulanglah untukku, juga untuk kebahagianmu," itu kata-kata terakhir Jade, kemudian pria itu menghilang di kegelapan.

Marry terbangun dari tidurnya dan tangisnya benar-benar pecah kali ini. Jade muncul hanya untuk menambah keresahannya.

*

Marry mengikuti kata-kata terakhir Jade dalam mimpi tempo hari. Diam-diam ia menerobos garis polisi yang terpasang di depan pintu. Marry punya kunci cadangannya.

Jade tidak mati terbunuh di apartemen, sehingga tak ada kesan angker di sana, yang tersisa hanya kenangan bersamanya di tahun-tahun terbaik mereka.

Mata Marry tertaut pada sebuah jaket kulit yang jatuh di lantai. Jaket yang ia belikan saat Jade mendapatkan promosi di kantornya. Marry mendekap jaket itu erat, berusaha menemukan lagi pelukan Jade yang sudah beberapa bulan ini tak lagi ia rasakan. Namun, sama-samar Marry mencium aroma yang sangat familiar. Bukan parfum seperti yang biasa Jade pakai. Ini aroma Caron Poivre, parfum Emily.

Perasaan Marry seketika tak karuan, muncul banyak tanya dalam kepala. Mengapa Emily sampai ke sini? Ada urusan apa di antara mereka? Mungkinkah itu parfum wanita selain Emily?

Marry ingin menepiskan pikiran buruk yang memenuhi 80% isi otaknya. Namun, semakin ia mencoba, rasa penasaran yang ada justru semakin menggila. Seketika muncul ide dalam otaknya.

Perempuan itu berjalan mendekati lemari di dapur Jade, mengambil sebotol Cabernet Franc yang isinya tinggal setengah. Setengah lagi sudah diminum beberapa bulan lalu saat mereka berdua merayakan hari jadinya yang ketiga.

Setelah dua teguk wine masuk ke tenggorokannya, Marry mengirimkan pesan singkat pada Emily.

"Kau di mana? Ini malam ulang tahunku. Datanglah ke apartemen Jade. Dia yang memintaku ke sini,"

"Apa maksudmu? Bagaimana bisa? Jade sudah mati, Marry!" balas Emily cepat.

"Jangan mengulur waktu, ini sudah mendekati jam 12, aku ingin kau menemaniku seperti biasanya, menjadi satu-satunya orang yang meniup lilin bersamaku, seperti sebelum aku mengenal Jade. Kita masih bersahabat, bukan?"

Marry mematikan ponselnya, sahabatnya itu pasti datang, ia tak akan bisa menolak apa pun kemauannya.

45 menit yang ditunggu akhirnya Emily mengetuk pintu apartemen perlahan, security bisa membunuhnya jika ia menerobos garis polisi yang membentang.

Marry membukakan pintu untuk Emily. Sahabatnya itu mengamburkan pelukan. Aroma parfum Caron Poivre kembali tercium lagi, kali ini lebih tajam dan pekat.

"Kau hebat, aku tak memberi alamat apartemen ini, tapi kau sampai juga di sini. Sudah berapa kali?"

Emily terkejut mendengar pertanyaan Marry, ulu hatinya terasanya nyeri.

"Aku ..., "

"Apa kau yang membunuh Jade? Atau kalian punya hubungan spesial di belakangku?"

"Aku tak pernah punya hubungan apa pun dengannya. Kau berubah sejak Jade hadir. Aku khawatir."

Marry tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Emily tidak menepis tuduhan bahwa ia adalah pembunuh Jade.

Perempuan terluka itu meninggalkan apartemen secepat kilat, bergegas menuju kantor kepolisian terdekat. Emily duduk lemas di sofa empuk di mana ia pernah memohon pada Jade untuk meninggalkan sahabatnya.

*

9 tahun berlalu ...

Marry membaca sebuah surat yang disampaikan pengacara Emily.

Dear Marry Smith, sahabatku.

Melindungimu seperti tugas mulia. Percayalah, di balik sosok rapuhmu, akan ada orang-orang yang datang padamu. Entah untuk menjaga atau memanfaatkan kelemahanmu. Kau boleh menempatkanku di mana pun kau mau. Aku menerima hukuman ini bukan karenamu, tapi karena aku benar-benar ingin kau baik-baik saja. Jade tak seperti dugaanmu. Aku menemuinya di Bounce Farringdon bersama dengan seseorang. Aku mengikuti mereka sampai ke apartemennya lalu menunggu hingga perempuan itu keluar dari sana. Aku menyaksikan Jade mendaratkan ciuman perpisahan padanya. Lalu sebuah taksi membawa perempuan itu pergi. Apa aku harus diam saja melihat apa yang dilakukan Jade terhadapmu? Maaf, jika aku mengambil keputusan yang salah, aku sama sekali tidak ingin membunuhnya. Tapi kekasihmu tak menyadari kesalahannya.

Sengaja aku minta Mr.Brown mengirimkan surat ini di hari kebebasanku dari hukuman, agar kau tak perlu mengganti laporanmu pada kepolisian. Aku menikmati hukuman demi hukuman dalam penjara ini. Setelah ini aku akan pergi, mungkin keluar dari kota ini. Aku akan memulai hidup baru, bukan menghindarimu. Dikenal sebagai narapidana pembunuhan akan menyulitkanku mendapatkan pekerjaan. Percayalah, aku akan terus mengabari keberadaanku. Kau tak akan kehilanganku, Marry.

 

Salam sayang,

Emily Dawson

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun