Masih dalam serangkaian perjalanan kunjungan kerja, Banyuwangi menjadi salah satu kota yang masuk dalam daftar tujuan.
Saya dan team dari kantor pusat berangkat dari Jember sekitar pukul 09.00 pagi. Melihat dari aplikasi Google Map kami akan menempuh perjalanan kurang lebih 60-90 menit jika lancar.Â
Sepanjang perjalanan kami melewati Hutan Gumitir atau yang dikenal dengan nama Alas Gumitir. Alas berarti hutan, dan Gumitir adalah nama tanaman Tagetes Erecta yang memiliki bunga berwarna kekuningan (info dari sini) Hal ini karena di hutan itu tedapat tanaman Gumitir. Di Bali tanaman ini sering dipakai untuk sesajen.Â
Selayaknya jalan-jalan yang dibangun dengan membabat alas pada umumnya, kita akan menemui jalur yang berkelok-kelok. Namun, beruntungnya kami melintasinya saat siang hari, sehingga keindahan pemandangannya bisa terlihat dengan jelas.Â
Sesekali kami harus berhenti karena ada orang yang mungkin adalah masyarakat sekitar mengatur jalur lintas kendaraan roda empat dengan sukarela. Jalur dibuat seperti "buka-tutup" untuk meminimalisir angka kecelakaan yang sering terjadi di area ini.
Selain memiliki keindahan pemandangan, Alas Gumitir ini menyimpan banyak sekali kisah mistis di dalamnya. Hal itu diakui dan dialami oleh banyak orang, mulai dari penduduk setempat hingga pengunjung atau pengendara yang melintas. Teman-teman bisa cari di Google untuk cari tahu kisah-kisah mistis yang kerap terjadi di Hutan Gumitir ini.
Sebagai penanda bahwa kita sudah memasuki wilayah Banyuwangi adalah bangunan Patung Penari Gandrung yang ada di Alas Gumitir ini. Saya hanya sempat mengambil fotonya dari dalam mobil.
penari Gandrung. Pertama di Alas Gumitir, kedua di Patung Watu Dodol dan yang terakhir di Taman Watu Terakota (TGT).
Kota yang memiliki sebutan Bumi Blambangan, Kota Osing, hingga Kota Santet ini memiliki 3 ikon patungSayangnya, saya tidak punya kesempatan mengunjungi TGT karena kami tak punya banyak waktu untuk mengunjungi semuanya. Namun bersyukurnya, saya memiliki kesempatan untuk mampir dan berfoto di depan Patung Penari Gandrung Watu Dodol.
Yuk, ikut saya jalan-jalan.
Sepanjang jalan Alas Gumitir ke Pelabuhan Ketapang
Jarak tempuh dari Alas Gumitir menuju Patung Penari Gandrung Watu Dodol ditempuh kurang lebih 2,5jam. Namun, kita tidak akan bosan saat melewatinya, karena kita akan melintasi pemandangan di sepanjang jalannya.
Sebelum sampai di Watu Dodol kami melewati Pelabuhan Ketapang. Siapa yang belum tahu Pelabuhan Ketapang? Pelabuhan yang selesai dibangun pada 1976 ini digunakan oleh orang-orang yang ingin menyeberang ke Pulau Bali (melalui Selat Bali) dengan menggunakan kapal ferry, nantinya mereka akan berlabuh di Pelabuhan Gilimanuk - Bali.
Sepanjang perjalanan dari Ketapang menuju Watu Dodol kita akan disuguhi pemandangan pinggir laut yang sangat memukau. Tempat wisata kuliner berjejer di sepanjang jalan. Sebenarnya ingin mampir untuk sejenak merasakan kuliner khas Banyuwangi di sana, namun melihat waktu yang tak banyak maka kami memutuskan untuk langsung tancap gas menuju Watu Dodol.
Watu Dodol adalah sebuah bongkahan batu karang besar yang berbentuk sangat unik. Terletak di Desa Ketapang Kecamatan Kalipuro, Kabupaten Banyuwangi. Tingginya kurang lebih 10 meter. Bentuknya terlihat mengerucut ke bawah.Â
Jika menggunakan akal sehat, nampaknya mustahil jika batu sebesar itu tidak jatuh tapi malah berdiri gagah di tengah jalan raya Situbondo -- Banyuwangi. Tapi itulah keunikan Watu Dodol yang keberadaannya masih menimbulkan banyak pertanyaan dan terus menjadi misteri hingga saat ini.
Di seberang Watu Dodol terdapat sebuah pantai yang airnya berwarna sangat biru, ada gradasinya juga, lho. Sumpah, cakep banget. Itulah yang dinamakan Pantai Watu Dodol.Â
Saya benar-benar kagum melihatnya. Sebagai orang yang tinggal di Bekasi dan biasanya hanya melihat keruhnya air di Kalimalang, bisa punya kesempatan untuk menjejakkan kaki dan melihat secara langsung keindahan alam seperti Watu Dodol ini merupakan anugerah yang terindah. Tapi rasanya nggak komplit kalau hanya membahas tentang keindahannya. Apalagi Watu Dodol ini sangat fenomenal.Â
Belajar sejarahnya, yuk.
Ada banyak versi tentang keberadaan Watu Dodol dan pantainya ini. Nama Watu Dodol sendiri pun dimaknai banyak macam oleh banyak sumber.Â
Menurut Bahasa Jawa Watu berarti batu dan Dodol diartikan sebagai panganan bercitarasa manis. Lantas, kenapa disebut Watu Dodol?
Ya karena bentuk batunya menyerupai dan berwarna seperti dodol. Dari salah satu warga setempat yang hari itu bisa kami ajak ngobrol, Watu Dodol ada lagi versi lainnya juga, lho.Â
Jalan raya Banyuwangi -- Situbondo ini dulunya adalah sebuah bukit. Saat jaman Belanda tahun 1700an, upaya pembongkaran ini dalam prosesnya menelan banyak korban jiwa. Bukit ini benar-benar tidak bisa dihancurkan.Â
Menurut urband legend yang beredar, lokasi ini sejak dulu memang terkenal sangat angker. Karena gunung ini dianggap sebagai pintu gerbang ghaib yang ditunggui oleh para jin.
Selama beberapa waktu dibuatlah sebuah sayembara bagi siapapun yang mampu menghancurkan bukit ini, sayangnya tak satu pun yang mampu melakukannya.
Hingga akhirnya pemimpin Banyuwangi saat itu, Tumenggung Wiroguno, meminta bantuan dari abdi dalemnya yang juga penasehatnya yang bernama Ki Buyut Jakso. Ki Buyut Jakso terkenal sakti. Dibantu oleh anak angkat/muridnya yang bernama Iman, juga dengan bantuan kekuatan jin, maka bukit yang tadinya tidak bisa dihancurkan sebelumnya, bisa diselesaikan. Namun, ada syarat yang harus dilakukan.Â
Dua dari beberapa syarat tersebut adalah, sisakan seonggok batu di pinggir pantai dan jangan berusaha mendodol batu tersebut lagi.Â
Jadi, bisa diasumsikan Watu Dodol bukanlah batu yang berbentuk dodol. Watu tetap dari Bahasa Jawa yang berarti batu, dodolnya di sini artinya memecah/dipecah atau "didodol" dalam Bahasa Jawa. Sehingga maksud dari Watu Dodol itu sendiri adalah bongkahan batu hasil dari bukit yang didodol atau dipecah.
Patung Penari Gandrung Watu Dodol
Lepas dari sejarah Watu Dodol kita beralih ke ikon Patung Penari Gandrung yang dibangun di atas pantai. Berukuran tinggi 5 meter. Patung Penari Gandrung ini dibuat oleh seorang pemahat bernama I Wayan Sastra dan Pak Nasir. Kedua sosok ini membuat patung itu pada tahun 1967 dengan menelan biaya total 120 juta. Proses pembuatannya pun tidak mudah.Â
Saat pertama kali Pak Wayan naik di bangunan yang akan dibangun Patung Gandrung tersebut, angin bertiup sangat kencang, dan ombak meninggi. Setelah Pak Wayan dan seorang kyai yang diminta datang ke lokasi, berdoa meminta kelancaran, seketika suasana menjadi tenang.
Sejarah Tari Gandrung
Tari Gandrung ini adalah tarian khas Banyuwangi. Awalnya ditarikan oleh kaum lelaki, makanya disebut Tari Gandrung Lanang. Para penari terdiri dari para lelaki yang berdandan seperti wanita. Namun berdasarkan beberapa sumber, Tarian Gandrung Lanang ini sempat hilang di tahun 1890an. Salah satu pemicunya adalah berkembangnya Islam di Blambangan.Â
Sebelum menjadi Bayuwangi, wilayah ini bernama Blambangan karena terdapat Kerajaan Blambangan yang berdiri di sana. Tarian Gandrung ini diciptakan sebagai bentuk terima kasih masyarakat pada Dewi Padi / Dewi Sri saat musim panen padi tiba.Â
Gandrung sendiri berarti jatuh cinta / tergila-gila, yang kurang lebih bisa diartikan sebagai bentuk jatuh cinta warga Banyuwangi pada sosok Dewi Sri / Dewi padi.Â
Saat ini Tarian Gandrung dilakukan secara berpasangan antara perempuan yang disebut penari gandrung dan laki-laki disebuat pemaju atau paju. Jadi, penari gandrung akan menarik pemaju untuk ikut menari bersama.
Tak hanya Watu Dodol yang memiliki kisah mistis. Patung Gandrung dikenal pula memiliki cerita-cerita horror yang mengikutinya. Banyak yang bilang posisi tangan patung bisa berubah sendiri seakan menari, juga ekspresi wajahnya yang bisa berubah-ubah. Hal ini pun diakui oleh Pak Wayan sebagai pembuatnya. Dan beliau sendiri tidak paham mengapa bisa terjadi demikian.
Banyak yang ingin berfoto di bawah Patung Penari Gandrung, san saya nggak mau juga kehilangan momen ini, dong.
Jujurly, anginnya kuenceeengggg sekali, Gaes...
Oh, ya. Saat kami ke Watu Dodol ini hanya dikenakan biaya parkir lima ribu rupiah saja. Rekreasi sembari belajar sejarah dengan biaya murah, kapan lagi?
Lepas dari itu banyaknya urband legend yang menyelimuti wilayah Banyuwangi dan tempat-tempat wisatanya, saya sangat kagum akan keindahan alam Banyuwangi.Â
Semakin saya punya kesempatan berkeliling Indonesia, semakin rasanya ilmu sejarah saya tidak ada apa-apanya. Saya sangat bangga menjadi warga Indonesia. Ternyata sejarah bangsa kita terlalu kaya, terlalu banyak ragamnya.Â
Rasanya 12 tahun mengenyam pendidikan sekolah wajib itu belum cukup untuk mengenal Indonesia secara menyeluruh. Jadi, kapan mau mulai ajak anak cucu kita keliling Indonesia?
Salam sayang,
Ajeng Leodita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H