Kemudian cari tahu juga alasan-alasan yang melatarbelakangi kenapa mereka bisa saling kenal. Aktivitas apa saja yang mereka lakukan tiap kali bertemu.
3. Pembelajaran tentang seks
Masih banyak di antara orang tua yang merasa pembahasan tentang hal satu ini sangat tabu. Tapi saya pribadi memilih menjadi orang tua yang lebih informatif dari pada anak-anak saya merasa penasaran dan justru mencari tahu dari dunia luar.Â
Kita bisa saja tidak tahu pada siapa mereka "berguru". Bisa jadi orang tersebut justru memberikan pendalaman materi yang justru memancing anak kita untuk melakukannya
4. Terbuka soal kondisi keuangan
Kebanyakan orang tua selalu berusaha mengabulkan apapun permintaan anak. Walaupun sampai mati-matian melakukannya. Hanya mengejar sebuah alasan "Supaya mereka bahagia". Tapi hal-hal semacam itu justru membuat anak tidak bisa mengetahui kondisi orang tua yang sebenarnya.Â
Sepertinya masih jarang orang tua yang memberikan pemahaman pada anak mereka tentang kondisi mereka yang sebenarnya. Sehingga anak menjadi tidak siap menerima orang tua dengan apa adanya. Hal itu kemudian menjadi boomerang untuk orang tua itu sendiri.Â
Saya pribadi punya pengalaman tentang "Menerima dan memahami kondisi orang tua".
Sejak tahun 80an ayah saya adalah seorang pengimpor besi dari beberapa negara. Namun dalam bisnis ekspor impor tidak ada yang namanya hari libur. Ayah saya mengajak kami liburan justru di hari sekolah. Makanya jaman itu saya dan adik-adik sering ijin tidak masuk sekolah. Karena tidak adanya hari libur, dampaknya pun pada pola keuangan ayah saya.Â
Saat orang-orang punya banyak uang di hari raya, atau di perayaan akhir tahun, ayah saya justru sedang tak punya uang, dan benar-benar tidak punya uang.Â
Jadi saya tidak boleh iri jika saat liburan sekolah selesai, kembali masuk sekolah, saya hanya jadi pendengar cerita-cerita dari teman-teman saya. Karena saya dan adik benar-benar tidak punya hal yang bisa kami bagi.