Ada yang memakai pakaian olahraga, baju muslim, bahkan hanya kaos dan celana jeans, dan ada yang memakai seragam sekolah seakan-akan ini hari sekolah biasa.
Sebenarnya saya miris melihat kondisi tersebut, mengingat ini sebuah perayaan besar, setahun sekali, apa tidak bisa memberikan satu hal yang spesial buat negara sendiri? Oke, kita anggap orang tuanya tidak punya dana untuk sewa pakaian adat.Â
Tapi rasanya sulit untuk meyakini hal terebut karena ada pemandangan lain yang membuat kami di komite ini bertanya-tanya. Ketika anak-anak diberi pakaian seadanya, kenapa justru para orang tuanya yang membeli busana dengan motif sama untuk kawanan mereka sendiri guna keperluan foto-foto yang akan dipamerkan di media sosial.
Bahkan ada sekelompok ibu-ibu wali murid yang ikut-ikutan trend selebritis menggunakan seragam masa sekolah mereka dalam sebuah acara. Sampai ada yang rela merogoh kocek untuk membeli seragam baru yang tidak akan mereka pakai lagi untuk sehari-hari. Sisi pamernya di mana?Â
Saat bisa mengeluarkan dana pribadi untuk kepentingan membeli hal-hal yang sekiraya tidak terlalu perlu, ingin terlihat seperti segerombolan ibu-ibu sosialita yang apa-apa serba sama. Jangan dikira hal semacam itu tak perlu effort yang lebih, lho. Melihat fenomena ini, kesenjangan sosial bukan lagi terjadi di antara masyarakat, melainkan antara orang tua dengan anak.Â
Apakah hal tersebut benar-benar hak orang tua untuk berekspresi? Ya, tentu saja. Toh, hal itu tidak merugikan orang lain. Hanya saja terlihat kurang fair untuk si anak. Tapi lagi-lagi itu anggapan pribadi saya. Kita tidak bisa memaksakan orang yang suka pamer untuk merasa malu.Â
Karena budaya malu hanya dimiliki oleh orang-orang yang mampu.
Orang yang pamer sesungguhnya punya banyak misi di dalamnya. Bukan saja hanya karena ingin menunjukkan kemampuan, tapi ada yang sebenarnya ingin memotivasi orang yang melihat agar memiliki pencapaian yang sama, walaupun terkadang justru salah tempat. Hal ini yang terkadang diharapkan menuai pujian malah dihujani hujatan.
Jika yang pamer itu kita lihat di media sosial, tinggal swipe-swipe saja, atau skip-skip semampu jari kita. Tapi bagaimana jika yang pamer adalah orang-orang dekat yang justru ketemu setiap hari? Apa langkah tepat untuk membuat mental tetap sehat dalam menghadapi hal tersebut?Â
Salah satunya dengan mengambil sikap tidak peduli. Jangan biarkan mata kita terus dipaksa melihat hal-hal yang malah memunculkan penyakit hati.Â