"Ibunya Taji meninggal,"
"Innalillahi wa innailaihi rojiun, sakit?"
Romi mengangguk pelan.
"Bukannya Mas nggak suka sama anak itu?" selidik Sang Istri.
Romili menarik napas panjang, bersiap untuk mulai menceritakan sebuah kisah kelam yang pernah terjadi padanya belasan tahun silam.
Romili lahir dari keluarga yang tak utuh, sejak kecil, ia tak pernah mengenal ayahnya. Ia dan Ibunya menumpang hidup pada Sang Nenek. Saat Romili berusia 9 tahun, ia sudah mulai berjualan di pasar. Neneknya membuat cucur dan Romi yang menjajakannya. Sementara Ibunya justru berkelana dengan banyak laki-laki. Dan sampai detik ini, Romili tak pernah lagi bertemu dengan ibunya. Masih hidup atau sudah meninggal dunia, Romi tak tahu lagi keadaannya. Sikap keras Romi bukan karena ia benci pada Taji. Namun, ia ingin Taji tumbuh menjadi pria kuat dan berani. Malam itu Romi memberikan uang pada Taji dan meminta anak laki-laki itu cepat pergi dari angkringannya karena ia tak mau Taji lama-lama di jalan dengan posisi baju basah dan kedinginan. Bukan karena Taji nampak seperti gelandangan.
Siti mengelus punggung suaminya perlahan. Sesak itu sampai pula di hatinya. Ia seperti tengah berhadapan dengan pria yang berbeda dari sebelumnya.
Tiba-tiba Romili membisikkan sesuatu di telinganya, wanita itu mengangguk seraya melepaskan senyum setuju.
*
Tepat di malam tahun baru angkringan Romi lebih ramai dari malam-malam biasanya. Kebetulan ada promo yang sedang berlangsung di sana. Bayar makan minimal 50ribu akan mendapatkan kalender gratis dari si pemiliknya. Romi memborong kalender-kalender yang dijual Taji.
Hampir 100 gulung kalender sudah dibawa pulang oleh para pembeli yang mendapatkan promonya. Romi berniat ingin memberi promo lain untuk para pelanggannnya di tahun depan dan tetap melibatkan Taji. Namun malam itu, saat Romili dan istrinya sedang membereskan peralatan jualannya, Taji muncul di depan rukonya.