Seminggu berlalu, Romili baru melihat lagi Taji di lampu merah. Tangan kanannya menjinjing kalender yang terbuka, mendekati mobil-mobil yang terpaksa berhenti karena macet luar biasa, sementara tangan kirinya menggenggam kalender yang tergulung. Anak laki-laki itu terlihat sesekali ngobrol dan bercanda dengan teman-temannya yang juga berjualan di sana. Mereka berusaha menikmati kesulitan yang tengah mereka jalani, membawanya ke situasi yang lebih menyenangkan.
Pukul lima sore, Taji mendatangi angkringan Romili, memesan sebungkus nasi dan mengeluarkan uang recehan dari dalam kantong plastik hitam. Ia menghitung uang itu pelan-pelan di hadapan Romili.
"Om, 103 ribu, ya?"
"Apa itu? Oh, mau bayar hutang ceritanya? Udah kaya, ya, sekarang?" Romili kembali menyindir lagi.
Taji menggeleng lemah.
"Sini, deh. Alhamdulillah kalau bisa kembalikan uang dari saya kemarin," Romili mengambil uang dari tangan Taji.
"Iya, Om. Terima kasih bantuannya. Kemarin setelah dapat uang dari Om Romi, saya langsung bawa ibu ke rumah sakit,"
"Oh, terus kok beli nasinya cuma 1? Ibumu sudah sehat?"
"Ibu sudah nggak ada, Om. Untung ada uang dari Om Romi, jadi Ibu meninggalnya di rumah sakit, jenazahnya diurus pihak sana, kalau Ibu masih di rumah, saya pasti bingung gimana pemakamannya. Ini uang dari para pelayat saya sisihkan untuk membayar hutang ke om Romi, sisanya untuk membuat nisan Ibu."
Seketika lidah Romi kelu, ia tak tahu harus berkata-kata seperti apa menanggapi kabar duka yang baru diceritakan anak kecil di hadapannya saat ini. Bergegas Romi meninggalkan Taji sendiri, masuk ke kamar mandi ruko dan menangis sejadi-jadinya, bahkan ia tak peduli dengan pembeli yang mungkin mendengar suara tangisannya. Istrinya bingung melihat sikap Romi hari ini. Ia menunggu suaminya menyelesaikan luapan emosinya.
"Ada apa?" tanya Siti lembut.