Saat angkringan sedang padat-padatnya, Siti melihat kedatangan Taji yang tiba-tiba. Jarang sekali anak itu mampir ke sini malam hari. Rumahnya pun jauh dari lokasi angkringan ini. Taji terlihat memang tak seperti ingin membeli nasi seperti biasanya. Wajahnya kuyu, bibirnya membiru, pakaian yang ia kenakan pun masih sama seperti sore tadi dan sudah basah kuyup.
Siti memberi kode pada suaminya, agar cepat-cepat menghampiri Taji.
"Ngapain ke sini lagi? Mau beli nasi lagi? Kalender sama tissue-mu laku banyak?"
"Nggak, Om. Saya mau bantu cuci piring atau bersih-bersih di sini, boleh? Saya butuh uang, ibu sakit,"
"Yang butuh uang bukan cuma kamu, saya juga." Balas Romili sinis.
Taji membeku di tempatnya berdiri. Dinginnya malam ini tak lebih dingin dari uacapan Romili barusan. Ada sesak yang memenuhi dada pria kecil itu. Memang seharusnya ia tak datang ke sini. Mengharapkan bantuan datang dari sosok Romili seperti mengharap kalender laku 100 gulungan dalam sehari. Nihil.
"Baik, Om. Saya pamit." Taji membalikkan tubuhnya, berjalan pelan dan hampir putus asa.
"Sebentar," panggil Romi tiba-tiba, kemudian mengeluarkan dua lembar uang lima puluh ribu dari saku celananya.
"Ambil ini, bawa Ibumu besok ke puskesmas. Jangan lama-lama di sini, nggak enak kalo pembeli di sini lihat. Pengamen saja saya larang masuk, apalagi ...," Romili tak melanjutkan kalimatnya, ia melihat ada beberapa motor baru datang. Itu jauh lebih penting ketimbang menghardik anak kecil ini terus-terusan.
Taji menggenggam uang dari Romili, air matanya benar-benar tumpah kali ini. Perasaannya tak karuan. Antara malu, sedih karena merasa dikucilkan, namun tetap ingin berterimakasih atas bantuan yang diberikan.
*