Dua buah Red Velvet Tart dengan lilin berbentuk 32 dan 37 diletakkan di meja yang sudah dipesan Irene sejak seminggu lalu di toko roti langganan mereka. Ini hari ulang tahunnya, juga hari jadi Bara, pria yang saat ini duduk di sampingnya.
"Make a wish dulu, dong!" ucap Irene sebelum mereka meniup lilinnya bersamaan.
"Pastinya sudah, Sayang. Kamu?"
"Belum. Eh, apa doamu, Mas?"
"Ini tahun ke empat kita meniup lilin bersama, doaku belum berubah. Semoga kamu, cuma kamu dan memang kamu takdirku. Kira-kira doamu apa?"
"Rahasia!" jawab Irene cepat dengan nada yang diusahakan terdengar bercanda.
Irene menutupi sedihnya dengan selengkung senyum palsu kemudian bergelayut manja di bahu prianya. Bahu yang selalu ada untuk Irene, yang menjadi saksi sebulir air mata  menetes dari seorang kekasih gelap di malam ulang tahunnya.
*
Semarang, 2016.Â
Bukan tanpa alasan Irene harus menjejakkan kaki di kota itu. Masalah ekonomi dalam rumah tangganya dengan Banu adalah satu-satunya alasan perempuan itu harus  menanggalkan profesinya sebagai ibu rumah tangga.Â
Sejak awal  pernikahan, Irene kerap meninggalkan anak mereka demi memenuhi biaya hidup yang tak pernah cukup. Tak ada lagi air mata, yang ada hanya isi kepala yang dipenuhi dengan bagaimana masalah keuangan mereka bisa terselesaikan, kemudian pulang menemui buah cinta di ibukota. Hubungan rumah tangga yang sudah tak lagi harmonis membuat Irene mencari zona nyaman di luar pernikahannya.
Berangkat dari media sosial, Irene mengenal Bara. Kecintaan mereka pada dunia literasi bak gayung bersambut. Bara suka menulis fiksi, begitupun Irene. Bara romantis, Irene juga. Serupa dengan Bara, Irene pun lahir di bulan Agustus dan yang teristimewa adalah jatuh di tanggal yang sama. Kesamaan di antara keduanya membuat mereka merasa pertemuan yang  terjadi memang takdir. Walaupun sudah ada orang lain dalam hidup masing-masing.
Bara memiliki seorang istri dan anak yang tinggal di luar kota. Dewi namanya. Perempuan cantik dan berpendidikan itu sangat mencintai suaminya. Akhir pekan adalah saat yang selalu Dewi nantikan untuk bisa berkumpul dengan anak dan suaminya.Â
Sabtu sore menjadi jadwal rutin Bara mengunjungi mereka. Makan malam atau nonton bioskop bersama adalah aktivitas sederhana namun begitu berharga bagi keluarga kecil itu. Menemani anak perempuan mereka sebelum tidur dengan mendongeng adalah hal termanis yang sering Bara lakukan. Tapi semua itu berubah seketika sejak Irene datang ke Semarang. Perempuan berkulit kuning langsat itu menyita seluruh perhatian Bara dari keluarganya.
"Nanti malam kamu pulang, kan? Aku sama Narraya punya sesuatu buat kamu." tanya Dewi dalam sambungan telepon dengan Bara.
"Belum tahu, ada orang dari kantor pusat yang ajak semua staff makan malam. Kalau pun aku pulang kemungkinan besok. Itu pun aku nggak bisa janji, biasanya permintaan orang pusat aneh-aneh."
"Mulai dari seminggu sekali, sebulan sekali, lama-lama kita ketemu setahun sekali, ya? Main cantik, Pi. Kalau begini siapa yang bisa berpikir positif? Sudah 2 bulan kamu nggak pulang. Â Ini hari ulang tahunmu! " Balas Dewi dengan intonasi tinggi.
"Jangan pancing aku terus, kucerai kamu kalau terus begini!" Ancam Bara tak kalah kencang.
Tanpa menunggu jawaban lanjutan dari Dewi, Bara langsung menutup sambungan teleponnya. Â Â
Usai mendaratkan kebohongan pada Dewi, Bara langsung menyalakan mesin mobilnya. Tujuan satu-satunya malam ini adalah kencan istimewa dengan Irene di malam ulang tahun mereka. Mobil melesat cepat menuju ke salah satu caf di jalan Pemuda. Ada rasa was-was jika pujaan hatinya terlalu lama menunggu. Pria berkulit eksotis itu pun sampai di tujuan walau kelebihan 3 menit dari waktu semestinya.
"Maaf aku terlambat." Sapa Bara seraya mendaratkan kecupan mesra di rambut indah Irene.
"Dewi?"
"Biasa, minta aku pulang." Jawab pria itu sambil mengambil posisi duduknya.
"Kenapa nggak pulang? Kemarin kan aku sudah bilang, acara kita bisa ditunda. Sudah empat kali di hari ulang tahunmu  kamu nggak pulang. Nanti dia curiga."
"Biar saja curiga. Kan sudah sering aku bilang, pernikahan kami ini salah."
"Jangan begitu. Tidak ada pernikahan yang salah. Tapi pelakunya."
"Iya, aku yang salah. Kenapa dulu aku nggak tunggu kamu ke Semarang. Dan salah kamu, kenapa kamu nggak cepat-cepat berangkat ke Semarang. Iya, nggak?" Bara berusaha melemparkan canda yang kali ini ditanggapi datar saja oleh Irene. Berbeda dari hari-hari biasanya. Batin Irene penuh kecamuk malam ini. Malam yang seharusnya penuh suka cita karena bertambahnya usia. Â
Sesungguhnya Irene tak ingin Bara mengorbankan waktu bersama keluarganya untuk dirinya. Irene sadar posisinya saat ini. Ada Banu dan Dewi diantara mereka. Tapi Irene pun tak bisa menahan hasrat Bara yang begitu menggebu ingin memilikinya. Bara selalu  mencoba menggantikan posisi Banu dalam hatinya.Â
Sesungguhnya semua sudah terpenuhi. Bara begitu bertanggung jawab atas dirinya. Bahkan Bara melarang Irene untuk mengeluhkan segala macam  kesulitannya di kota ini. Bara ingin menjadi satu-satunya  orang yang tahu keadaan Irene. Dewi tersisihkan dalam waktu yang sangat singkat. Entah, di mana Bara simpan semua kenangan hidup bersama Dewi dan  buah hati mereka.
"Mas, minggu depan aku pulang ke Jakarta."
"Lho, kok mendadak? Ada apa?"
"Banu minta aku pulang. Dia mulai curiga aku ada main di sini."
"Perceraian kalian? Jadi, kan?"
Irene mematung. Lidahnya kelu. Ada atau tak ada perceraian antara dirinya dengan Banu, tak akan mengubah keadaan menjadi lebih baik. Sesempurna apapun Bara tetaplah milik orang lain. Irene tak akan mampu dibayangi mimpi buruk seumur hidup atas kesalahan yang dibuatnya pada istri dan anak Bara.
"Aku akan ceraikan Dewi dalam waktu dekat." Jelas Bara.
"Dapat apa kalau kamu ceraikan dia?"
"Kamu!"
Ada sesak dalam hati Irene. Bagaimana mampu dia meninggalkan pria di hadapannya. Pria yang berulang kali berniat meninggalkan keluarganya hanya untuk Irene. Pria yang sudah terlalu banyak meletakkan hal-hal manis dalam kedekatan mereka selama ini. Seketika pikiran Irene melayang pada selembar surat yang dikirimkan seorang istri yang memohon padanya untuk pergi jauh dari suaminya 2 minggu yang lalu.
"Dear, Irene. Tidak sulit untuk saya menemukan alasan atas keganjilan dari sikap  suami saya. Saya yakin kamu perempuan baik-baik. Saya tahu kamu pun sudah berkeluarga. Bagaimana jika anakmu merasakan hal yang sama dengan anak kami yang seketika kehilangan sosok ayahnya hanya untuk membahagiakan perempuan lain? Kami baik-baik saja sebelum kamu datang. Bara adalah suami dan ayah terbaik yang kami miliki. Tolong, biarkan kami bahagia.  Kamu pun bisa bahagia dengan suami dan anakmu. Kita sama-sama perempuan, sama-sama punya modal cinta dan kasih. Letakkan itu di tempat yang semestinya. Saya dan Narraya akan sangat berterimakasih jika kamu mau peduli dengan isi surat ini. Kami doakan yang terbaik untukmu, Irene."   Â
"Sayang?" Suara Bara mengejutkan Irene.
"Ah, iya." Jawab Irene gelagapan sambil mengatur napasnya yang tersengal.
"Kamu baik-baik aja, kan? Sebenarnya ada apa, sih? Nggak biasanya kamu begini."
"Cuma terpikir soal pulang ke Jakarta, Mas. Aku jawab apa nanti kalau Banu memberondongku dengan banyak pertanyaan tentang kita?" Irene coba berbohong.
"Masih di Semarang, masih ada aku, pikirannya sudah sampai di Jakarta."
"Maaf ya, Mas. Ayo tiup dulu," Ajak Irene mengalihkan rasa cemburu Bara.
Sebelum meniup lilin miliknya, Irene memejamkan mata, berdoa dengan sungguh-sungguh dalam hatinya.Â
"Tuhan, jadikan ini tahun terakhir kami bersama. Hapuskan semua rasa dan asa yang muncul karena segenap kebaikannya. Bukan saya orang yang tepat. Bukan saya orang yang berhak. Â Ada cinta yang selalu menantinya pulang. Cinta yang selalu dijaga wanitanya di sana. Wanita yang mungkin tengah berjuang untuk memaafkan saya.Â
Ampuni  saya yang sempat berusaha mengubah takdir ini. Bara adalah salah satu manusia istimewa yang kau cipta. Jaga dia  untuk saya. Biarkan hanya doa saya yang memeluknya. Kenangan tentangnya adalah hal terindah yang mungkin akan saya bawa sampai mati. Terima kasih, Tuhan. Terima kasih sudah sempat menuliskan takdir saya untuk bisa bersamanya walau hanya sebentar saja."  Â
Irene berharap, hubungannya dan Bara akan menguap bersama kepulan asap lilin yang sudah tak lagi menyala.
Jatibening, 2 Oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H