"Perceraian kalian? Jadi, kan?"
Irene mematung. Lidahnya kelu. Ada atau tak ada perceraian antara dirinya dengan Banu, tak akan mengubah keadaan menjadi lebih baik. Sesempurna apapun Bara tetaplah milik orang lain. Irene tak akan mampu dibayangi mimpi buruk seumur hidup atas kesalahan yang dibuatnya pada istri dan anak Bara.
"Aku akan ceraikan Dewi dalam waktu dekat." Jelas Bara.
"Dapat apa kalau kamu ceraikan dia?"
"Kamu!"
Ada sesak dalam hati Irene. Bagaimana mampu dia meninggalkan pria di hadapannya. Pria yang berulang kali berniat meninggalkan keluarganya hanya untuk Irene. Pria yang sudah terlalu banyak meletakkan hal-hal manis dalam kedekatan mereka selama ini. Seketika pikiran Irene melayang pada selembar surat yang dikirimkan seorang istri yang memohon padanya untuk pergi jauh dari suaminya 2 minggu yang lalu.
"Dear, Irene. Tidak sulit untuk saya menemukan alasan atas keganjilan dari sikap  suami saya. Saya yakin kamu perempuan baik-baik. Saya tahu kamu pun sudah berkeluarga. Bagaimana jika anakmu merasakan hal yang sama dengan anak kami yang seketika kehilangan sosok ayahnya hanya untuk membahagiakan perempuan lain? Kami baik-baik saja sebelum kamu datang. Bara adalah suami dan ayah terbaik yang kami miliki. Tolong, biarkan kami bahagia.  Kamu pun bisa bahagia dengan suami dan anakmu. Kita sama-sama perempuan, sama-sama punya modal cinta dan kasih. Letakkan itu di tempat yang semestinya. Saya dan Narraya akan sangat berterimakasih jika kamu mau peduli dengan isi surat ini. Kami doakan yang terbaik untukmu, Irene."   Â
"Sayang?" Suara Bara mengejutkan Irene.
"Ah, iya." Jawab Irene gelagapan sambil mengatur napasnya yang tersengal.
"Kamu baik-baik aja, kan? Sebenarnya ada apa, sih? Nggak biasanya kamu begini."
"Cuma terpikir soal pulang ke Jakarta, Mas. Aku jawab apa nanti kalau Banu memberondongku dengan banyak pertanyaan tentang kita?" Irene coba berbohong.