Warung kelontong seakan sudah menjadi nyawa bagi kita. Kebutuhan sehari-hari bisa didapatkan di sana. Makin lengkap warung kelontong, maka makin banyak pula pelanggannya, karena mereka tidak perlu repot-repot berpindah-pindah warung untuk membeli apa yang dicari.
Di tempat tinggal lama, saya jarang sekali ke warung kelontong, karena rumah saya langsung bersebelahan dengan toko waralabaÂ
Saya tipikal orang yang malas membanding-bandingkan harga. Maunya serba cepat dan tepat. Pertimbangannya karena saya memiliki anak balita yang sulit ditinggal ke mana-mana. Kalau saya ajak, justru waktu yang saya habiskan di sana akan lebih lama karena repot main kejar-kejaran dengan balita saya. Jadi mana yang paling dekat, itu yang jadi tujuan.
Fenomena merebaknya warung kelontong Madura juga terjadi di perumahan tempat tinggal yang baru saya tempati 5 bulan belakangan ini, Jati Mekar, Bekasi.Â
Cirinya pun sama seperti di daerah-daerah ya lain. Penataan barang-barang dagangan rapi, ditempatkan di kotak-kotak kayu menyerupai lemari, buka 24 jam, pedagangnya sarungan dan bertelanjang dada, dan seringkali terlihat tengah bertelepon dengan sesama orang Madura (terdengar dari bahasa yang digunakan), dan earphone yang tidak lepas dari telinga.
Walau saat ini warung-warung kelontong didominasi oleh warung-warung Madura, bukan berarti warga setempat menghentikan usaha warung mereka dan peminatnya pun masih ada.
Buka 24 jam, tatanan warung yang rapi, tidak serta merta menjadi pilihan warga sekitar sini. Ada hal-hal lain yang jadi bahan pertimbangan dalam memilih warung tujuan.
Di sini ada satu warung yang ramai pengunjung. Pemiliknya bukan Madura. Sebut saja namanya Warung Cahaya.Â
Sama seperti warung-warung kelontong pada umumnya, yang disediakan penjualnya sama seperti warung yang lain: sembako, makan ringan, minuman, perlengkapan mandi dan mencuci, perlengkapan rumah tangga sampai dengan obat-obatan ringan.
Ukuran bangunannya yang sempit membuat penjualnya harus menumpuk barang-barang dagangan sekenanya. Bahkan terkadang penjualnya lupa meletakkan barang dagangannya di sudut mana, tak jarang pembeli harus menunggu sampai 10 menit sampai si penjual menemukan barang yang dicari. Namun, tetap saja warung itu selalu digandrungi, mengalahkan warung-warung lain di area kami.
Otak jahat saya bekerja dengan cepat, saya kira penjual menggunakan jasa pesugihan untuk warungnya.Â
Image yang tercipta selama ini, kebanyakan warung menggunakan jasa klenik semacam itu untuk melancarkan bisnisnya. Jika pun tidak, mungkin karena harganya lebih murah atau ragam yang dijual lebih lengkap.Â
Tapi warung Cahaya ini tidak berbeda, justru sedikit lebih mahal jika dibandingkan dengan yang lain. Selisihnya bisa 1-2 ribu rupiah untuk tiap jenisnya. Apa saya salah jika berpikir bahwa si pemilik usaha menggunakan klenik? Tidak, kan?
Selama beberapa bulan hal itu terus menjadi bayang-bayang menyeramkan. Saya berpikir betapa kasihannya pesaing-pesaing lain yang berusaha berjualan dengan cara yang halal, mengingat saat ini sulit sekari mencari pekerjaan dan mungkin membuka warung kelontong adalah satu-satunya pilihan.
Namun, setelah saya melakukan "survey diam-diam" dari para tetangga, akhirnya saya tahu kenapa Warung Cahaya menjadi incaran banyak warga.
Warung yang dikelola sudah hampir 4 tahun oleh pemiliknya menyediakan sistem paylater. Alias bayar belakangan atau kasbon atau utang.  Bukan hanya Opo, Sopi, Toped, dan segenap e-commerce lain yang memiliki program itu, Warung Cahaya pun punya.Â
Bukan tanpa syarat juga pastinya. Pemilik warung itu bisa mendeteksi mana pembeli yang sering datang dan mana yang baru satu atau dua kali berkunjung. Yang sering datang diberi kesempatan untuk utang belanja maksimal 300k sebulan. Hal itu bisa dikatakan lumayan untuk para IRT yang hanya menunggu gaji bulanan dari suami. Sistem kepercayaan bekerja di sini.
Saya pernah mencoba bertanya pada si penjual yang seorang suami istri paruh baya yang tampilannya sangat sederhana.Â
"Pernah ditinggal kabur sama si penghutang?"
"Pernah, tapi rejeki nggak ke mana, pasti ada rejeki lain sebagai pengganti. Tapi masih lebih banyak yang Amanah, jadi ya Alhamdulillah,"
Sesungguhnya saya salut, masih ada orang-orang seperti beliau di era seperti sekarang ini, saat kepercayaan sudah tak bisa lagi menjadi acuan.
Lalu bagaimana dengan saya? Apa saya jadi bagian dari para kasboner di sana? Tentu saja. Namun di waktu-waktu tertentu, misal uang yang saya bawa kurang namun ternyata di warung baru ingat harus membeli ini dan itu.
Budaya ngutang yang menjadi tradisi di Indonesia masih akan terus membudaya selama masih ada orang-orang sabar seperti pemilik Warung Cahaya.
Jadi, tidak selalu warung yang ready 24 jam full, penjual yang ramah, harga yang murah, dan tatanan warung yang sedap dipandang mata akan menjadi incaran calon pembeli. Melainkan yang bisa memberi "kemudahan" akan lebih diminati.Â
Bekasi,
26 November 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H