Suster Ida pamit, waktu menunjukkan jam 5 sore. Jam kerjanya sudah selesai di rumah Pak Darsono, pria tua yang sudah setahun belakangan dirawatnya. Rahayu, anak perempuannya yang menyewa Ida untuk menjaga ayahnya selama ia bekerja.
Tak banyak yang bisa dilakukan Ida di rumah itu selain mengingatkan jam makan dan minum obat. Demensia Alzheimer menuntut pria itu untuk mengkonsumsi obat tepat waktu.
Selepas kepergian Ida, Darsono buru-buru masuk ke rumah, lonceng jam dinding di ruang tamu mengingatkannya agar segera menyiapkan air panas dan makan malam untuk Rahayu, yang sebentar lagi pulang dari tempat kerjanya.
Sejak kematian istrinya, Darsono memiliki berperan ganda, sebagai ayah juga ibu bagi Rahayu. Â Darsono mengurus segalanya seorang diri. Mirip janjinya pada mendiang istrinya sebelum mata indah wanita itu menutup selamanya. Sekalipun Rahayu keberatan jika ayahnya melakukan segalanya sendirian tapi ia pun tak ingin membuat ayahnya tertekan dengan larangan-larangan yang ia buat.
"Ayu, pulang, Pak,"
Suara Rahayu terdengar di pintu depan yang tidak pernah dikunci.
Darsono cepat-cepat menyambut anak gadisnya, kemudian mencium keningnya, kebiasaan yang tak pernah berubah sejak dulu.
"Mau mandi atau maem dulu, Nak?"
"Bapak masak apa?"
"Sayur lodeh, tempe goreng, sama ikan sepat."
Wajah Ayu berseri, isi hatinya sejak masih di kantor tadi sampai pula ke hati bapak. Ia memang sedang merindukan menu itu, kesukaannya saat ibu masih ada.
Acara makan malam selesai, Ayu bergegas mandi kemudian duduk di ruang keluarga menemani ayahnya yang duduk di sudut dekat lampu baca. Pria itu membuka album lama, sesekali wajahnya sendu, kemudian mengembangkan senyum. Bapak selalu apik menyimpan foto-foto lawas keluarga mereka, memori yang tak akan bisa diulang, katanya.
"Bapak, mulai besok Ayu akan pulang lebih larut. Jadi bapak nggak usah khawatir, ya. Ada pekerjaan tambahan yang harus Ayu kerjakan. Ayu juga mungkin akan susah angkat telepon, yang jelas Ayu pasti pulang. Mbak Ida nanti Ayu minta over time untuk jaga bapak,"
"Eh, ngga usah. Bapak nggak apa-apa, kok. Biar saja dia sampai sore, kan dia juga punya keluarga. Tapi, ingat, jaga kesehatanmu, Nak. Nanti bapak buatkan minuman yang bisa kamu bawa untuk diminum di kantor,"
Ayu tersenyum haru, bapak memang luar biasa, totalitas memerankan diri menjadi orang tua lengkap sekalipun sudah lanjut usia.
*
Sejak Rahayu mengatakan akan sering pulang lebih larut, Darsono bangun lebih pagi dari biasanya. Laki-laki itu memeriksa keranjang bumbu dapur dan mencari rempah-rempah yang akan ia racik menjadi minuman kesehatan untuk anaknya.
Pukul enam pagi mba Ida datang, seperti biasa, ia selalu membawakan jajan pasar untuk sarapan pak Darsono. Jam kedatangannya selalu pas dengan jadwal rahayu berangkat kerja, sehingga ada kesempatan untuknya memberi laporan tentang kondisi Pak Darsono.
"Mbak Ida, Ayu masih mandi, tolong masukan Wedang Uwuh ke ranselnya."
"Iya, Pak." balas Ida setelah terdiam beberapa saat.
"Saya mau buatkan lagi untuk stok minggu depan, besok pagi mampir ke pasar ya, Mbak? Belikan rempah-rempahnya."
"Baik, Pak,"
Sejak rahayu pulang lebih larut pun Mbak Ida tidak pulang tepat waktu. Darsono memperhatikan dari dalam rumah, namun mba Ida bilang ia hanya sedang suntuk di rumah sehingga ia ingin sedikit lebih lama di sini. Beberapa hari belakangan selepas minum obat sorenya, Darsono selalu merasakan kantuk yang luar biasa, kadang ia lalai menyiapkan makan malam untuk Rahayu, itu pula yang membuat Mbak Ida memperpanjang jam kerjanya untuk menyiapkan segalanya.
*
"Bapak, Ayu sudah pulang,"
Darsono membuka matanya, ia melihat Ayu sudah berada dalam kamarnya.
"Duh, bapak belum masak, Nak. Kamu lapar, ya? Maaf, ya, Nak. Nggak tahu ini kenapa kok bapak jadi suka ngantuk. Kemarin-kemarin nggak begini, apa obatnya baru, ya?"
"Itu ada makanan di meja, Mba Ida yang masak pasti. Nggak apa-apa, Pak. Masakan Mbak Ida juga enak, kok."
Ayu memijit lengan ayahnya lembut dan berharap ayahnya kembali tidur lelap hingga esok pagi.
*
Hari ini agak berbeda, Pak Darsono menaruh rasa curiga pada perawatnya. Ia benar-benar kehilangan banyak momen untuk mengurus Rahayu. Ketika ia bangun Rahayu sudah tak ada di kamarnya. Yang membuatnya terkejut adalah botol-botol berisi wedang uwuh yang selama ini ia minta pada mbak Ida untuk dimasukkan ke dalam ransel Ayu tak pernah dilakukan. Semuanya masih utuh tertata di meja kamar anaknya.
Yang ditunggu-tunggu pun tiba, tanpa menunggu lama, Darsono langsung mengajak Mbak Ida bicara.
"Mbak, kenapa botol-botol Wedang Uwuh yang saya minta dimasukkan ke dalam ranselnya Ayu masih utuh di meja kamarnya? Mbak yang nggak masukkan atau Ayu yang nggak mau minum?"
Ida terdiam, lidahnya kelu.
"Kok diam?"
Ida berjalan menuju kamar Ayu, mengambil kalender dari dalam sana kemudian kembali menemui Darsono.
Di depan Darsono, Ida menghitung jumlah hari yang tanggal-tanggalnya ia silang dengan spidol merah sejak Ayu pamit lembur pada ayahnya.
"Hampir empat puluh hari, Pak."
"Apanya?" tanya Darsono dengan nada yang sedikit tinggi.
"Hampir 40 hari Mbak Ayu berpulang, tapi nggak ke sini. Besok kita siapkan pengajiannya ya, Pak."
-selesai-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H