Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja Manis di Pesawat Menuju Paris

20 Oktober 2022   15:42 Diperbarui: 20 Oktober 2022   15:53 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://id.aliexpress.com/

Sumeni jadi cibiran para tetangga. Sudah biasa. 

Sebagai biduan cantik, ia rela dipersunting Dulmoko yang ketampanannya di bawah rata-rata bahkan kekayaan pun tak ada. Jangankan warisan orang tua, penghasilan pribadi pun tak terlihat di mana rimbanya. Ia hanya mendapatkan uang jika ada yang mampir ke galerinya di pasar seni. Melukis adalah hobinya, ia seniman bukan karyawan, caranya mencari uang agak berbeda dan tak semua orang bisa menerima cara berpikirnya. Para tetangga sibuk memikirkan kehidupan Dulmoko dan istrinya, mereka meyakini Dulmoko tak bisa menafkahi, jika ada pun tak pasti sebulan sekali.

Sumeni tak pernah menanggapi ucapan-ucapan menyakitkan dari para tetangga. Toh, uang tak muncul dari sana. Apalagi kebahagiaan, tak bisa terbeli hanya dengan menanggapi umpatan yang tak beralasan. 

Pernikahan Sumeni dan Dulmoko baru menginjak 7 tahun. Tak pernah ada pertengkaran hebat yang terjadi di antara keduanya. Mereka terlihat akur dan bahagia.

Dulmoko pria yang sangat sabar, pun saat menanggapi sindiran demi sindiran yang mampu membuatnya kenyang saat kelaparan.

"Nggak malu, ya, istrinya nyanyi joget-joget nggak karuan biar dapat saweran, suaminya malah di rumah aja sarungan,"

"Kasihan si Meni dapat cowok kere, kalau ganteng sih nggak apa-apa. Lha, ini?"

"Meni dipelet kali, ya? Kok mau sih sama si Dulmoko? Apa sih bagusnya itu orang?"

Pria berperawakan tinggi kurus itu hanya membalas semua dengan senyuman. Baik Moko mau pun Meni tak pernah menjadikan ocehan itu sebagai lauk makan malam, entah, apa yang bisa membuat mereka bisa tetap bersikap tenang. Sepasang suami -- istri ini merasa mereka bukan artis yang harus memberikan penjelasan tentang banyaknya pertanyaan yang digunjingkan. 

Bukan kewajiban mereka untuk memberi informasi, bukan pula kapasitas para tetangga untuk mengetahui kebenaran yang ada di dalam rumah tangga orang.

*

Air mata Meni tumpah sesaat setelah hasil laboratorium miliknya dibacakan oleh dokter di hadapannya.

"Jangan khawatir, tetap semangat, ya. Kita akan jalankan Antiretroviral (ARV) sebagai pengobatannya mulai besok."

"Bagaimana masa depan saya, Dok?"

"Kenapa? Tidak ada yang berubah, semua bisa berjalan seperti biasa, asalkan Anda teratur berobat, semua akan baik-baik saja. Bahkan Anda bisa menikah, punya anak, memiliki keluarga utuh seperti yang lain, apa masalahnya? Dekatkan diri pada Tuhan dan bahagia, itu kuncinya."

Sejak hari itu Meni mulai menjalani kehidupan yang baru sebagai ODHA, walaupun hatinya hancur berkeping-keping namun ia selalu ingat kata-kata dokter yang merawatnya. Meni merahasiakan apa yang ia derita ke siapa pun termasuk kedua orang tuanya.

Tanpa dukungan dari siapa pun selain dokter, Meni rajin berobat. Berangkat dan pulang sendirian tanpa kawan.

Sampai akhirnya ia bertemu dengan Dulmoko. Pria itu pun melakukan pengobatan yang sama. Keduanya memberi dukungan satu sama lain. Pertemanan mereka atas dasar saling mengisi.


"Apa kamu berpikir untuk menikah?" Moko melontarkan tanya di pertemuan ke sekian mereka.

"Sempat, tapi aku tak siap menyampaikan pada pasanganku nantinya jika aku adalah ODHA.  Kamu?"


"Sama, aku juga berpikir tentang itu. Indonesia belum welcome dengan orang-orang seperti kita, masih dianggap zombie di negeri sendiri,"

"Mantanmu yang menularkan ini padamu, bagaimana kabarnya?"

"Entahlah, mungkin sudah mati. Ia kembali ke negaranya sejak dia tahu kami sama-sama akan mati dengan virus memalukan ini,"

Namun, kekhawatiran itu justru membuat hubungan Meni dan Moko menjadi semakin kuat dan dekat. Jika Moko dapat jadwal check up, Meni menemani. Begitu pun sebaliknya. Jika Moko membutuhkan model untuk dilukis, Meni rela menjadi model cuma-cuma. Saat Meni ada panggilan menyanyi di acara resepsi, Moko mengantar dan menjemputnya dengan senang hati. Sampai akhirnya Moko melamar Meni dalam sebuah makan malam di pinggir jalan.

"Rasanya waktunya sudah cukup," ucap Moko.

"Apa?"

"Mau nggak kamu nikah sama aku?"

Meni tak menjawab, hanya air mata yang menggenang di matanya yang berbinar mampu terbaca bahwa ia menerima. Sesaat kemudian ada pengamen yang datang, Moko minta dimainkan lagu Perempuan Dalam Pelukan yang seakan pas dengan momen malam itu.

*

Tahun ke-8 pernikahan itu, Meni mengandung. Hal yang sama sekali tak terbayangkan olehnya. Sempat tak yakin pada penjelasan dokter bahwa sangat besar kemungkinan anak-anak dari ODHA akan terinfeksi virus yang sama membuat banyak kekhawatiran memenuhi pikiran. Bagaimana jika anak ini lahir, apakah ia akan terinfeksi juga? Apakah kondisinya normal? Apa dia malu memiliki orang tua berstatus ODHA? Namun, semua ketakutan tergerus cibiran tetangga yang tidak ada matinya.

"Kasihan anaknya nanti, bapaknya nganggur, cuma gambar-gambar doang. Anaknya mau dikasih makan lukisan?"

Baik Moko atau pun Meni sama sekali tak ingin menceritakan mengapa pernikahan mereka sampai terjadi dan kenapa Meni mau memilih pria itu yang menikahinya. Takdir yang mempertemukan kedua orang yang terbelenggu dalam satu kekhawatiran yang sama. Sudah jalannya. 

Dalam sebuah pernikahan tidak perlu punya alasan untuk dipersatukan.

Buah kesabaran Moko atas hujatan demi hujatan akhirnya muncul juga. Seorang kolektor lukisan ingin membeli hampir seluruh hasil karyanya. Seorang wanita tua yang ingin memenuhi isi dalam rumahnya dengan lukisan bertema perempuan, dan kebetulan Moko lebih sering melukis Meni di atas kanvasnya. Tak main-main, harga yang ditawarkan kolektor itu sangat fantastis. Rejeki anak, kalau kata orang tua.

Akhirnya tiba saat Meni melahirkan buah cinta mereka. Amaranggana, gadis kecil berwajah oval dan memiliki rambut ikal mirip ibunya dengan mata bulat indah turunan ayahnya.

Namun sayangnya Meni mengalami perdarahan luar biasa setelah berhasil melahirkan anak mereka. Ia pun meninggal dunia. Moko sesak, kehilangan sebelah jiwanya. Meni tak mendapat kesempatan memeluk Amaranggana lebih lama.

*

Belasan tahun berlalu,

Amaranggana berangkat ke Paris karena lukisannya memenangkan sebuah event bergengsi. Moko menemaninya. Pria yang kini berusia senja itu menggenggam erat gadis kecilnya yang sudah beranjak dewasa. Moko sangat bahagia, bukan karena ia berhasil mendidik anak satu-satunya hingga menjadi pelukis muda yang hebat, melainkan kabar baik sebelum pesawat mereka lepas landas ke udara.

"Anak anda tidak terpapar HIV, Pak. Sdri Amaranggana dinyatakan sehat."

Moko melempar pandangan pada senja di luar jendela pesawat yang main meninggi ribuan kaki, ia berusaha membayangkan pesawat ini bisa sebentar saja mengantarnya menemui Meni dan menceritakan bahwa rantai virus itu akhirnya putus. 

Bekasi,

20 Oct 22

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun