Aku mengangguk senang, mungkin ini kesempatan untuk bisa semakin dekat dengannya.
Awalnya kupikir hari Minggu hanya hari ibadah, tapi setelah satu gereja dengan Arjo, hari Minggu adalah hari kencan kudus dengannya. Entah, mungkin aku berdosa karena menyelipkan niat lain saat berangkat ke gereja. Tapi saat berada di dalam sana, aku menepiskan dulu rasa sayangku pada Arjo dan benar-benar menyerahkan diri pada tiap bait-bait doa yang kuucapkan untuk Tuhan.
Satu tahun berjalan, aku semakin nyaman dengan kedekatan kami. Walaupun Arjo belum juga menyatakan bahwa kami punya hubungan spesial alias pacaran tapi dengan sedekat ini saja aku sudah merasa bahagia.
Arjo tidak pernah menyentuhku, sama sekali. Aku merasa sangat dihargai sebagai perempuan. Aku pun sangat menjaga sikapku padanya, tidak berusaha memancing-mancing agar ada kontak fisik di antara kami. Namun sebagai perempuan, terkadang aku memiliki banyak pertanyaan melihat pria semacam Arjo. Bermodalkan rasa penasaran yang tak bisa kutahan, akhirnya kuberanikan diri bertanya padanya.
"Kamu pernah pacaran?"
"Nggak ada status pacaran, cuma dekat aja, kenapa?"
"Nggak apa-apa, cuma tanya aja. Boleh, kan?"
Arjo mengangguk, tatapannya begitu lembut.
"Sama siapa? Anak sekolah kita?"
"Iya, sekelasku, kamu juga tahu orangnya. Tapi, udahlah, nggak pernah ada apa-apa kok sama dia,"
"Jo, kita mungkin pacaran, nggak?"