"Nggih. Anu, ngapunten nggih, Bu. Kemarin saya dapat kabar, Rosna tindak, Bu."
Miranti menarik napas panjang kemudian mengembuskannya kembali dengan cepat.
"Kita terlambat, Ning. Kita terlalu sibuk sama pesanan lain. Padahal sudah beberapa kali dikasih petunjuk waktu ritual,"
Nining tidak menjawab, darahnya berdesir, rasa takut kejadian semacam itu akan terus berulang.
*
Hari yang ditunggu pun tiba. Para karyawati sanggar yang didapuk sebagai panitia mengenakan kebaya jahitan tangan mereka sendiri. Para model pun dengan elegan melakukan tugas mereka di catwalk sebagaimana mestinya. Mereka melenggak-lenggok cantik dengan kebaya-kebaya terbaik yang sanggar punya. Pihak sponsor merasa puas dengan acara ini, bahkan tak jarang dari mereka menginginkan acara semacam ini sering diadakan sebulan sekali. Semua berjalan sesuai harapan. Namun di antara semua yang terlihat sempurna, ada satu yang paling menarik perhatian. Sebuah kebaya putih lusuh yang dipasang pada sebuah mannequin yang ada di sudut panggung. Kebaya itu penuh bekas bercak darah yang sudah menghitam di beberapa sisinya. Rata-rata semua dari mereka mengira itu hanya gimmick yang dibuat pihak Omah Kebaya 1942.
Tiba di penutup acara, Miranti berjalan di catwalk bersama model-model yang ia sewa. Memberikan sepatah -- dua patah kata pada tamu-tamu undangannya.
"Terima kasih atas kedatangannya untuk para tamu undangan, terimakasih dukungan dari para sponsor, juga rekan-rekan model yang bersedia memperagakan kebaya-kebaya rancangan saya dan hasil jahitan para tim Omah Kebaya 1942. Mungkin kebaya putih di ujung sana menarik perhatian para tamu undangan sekalian. Saya mau sedikit bercerita,"
Miranti menarik napas sebelum memulainya.
"Masa penjajahan Jepang mengawali kemerosotan popularitas kebaya di kalangan masyarakat. Kebaya menjadi lambang pakaian perempuan korban perbudakan dan tahanan politik. Masa Perang Dunia II juga membuat banyak jalur pedagangan tekstil terputus hingga jumlah produksi kebaya pun menurun drastis. Kebaya putih itu sudah ada sejak tahun 1942, keberadaannya adalah satu bukti sejarah bahwa kebaya pernah dijadikan seragam untuk para wanita Indonesia yang menjadi tahanan Jepang di bumi pertiwi. Pemilik kebaya itu adalah nenek saya, atau biasa kami sebut simbah. Ibu saya tidak punya foto simbah, hanya kebaya itu sebagai obat rindunya. Dan kebaya itu merupakan alasan utama saya menjalankan bisnis kebaya ini. Saya ingin merasakan simbah itu tetap ada di kehidupan kami, karena simbah berjasa untuk kami dan negeri ini. Saya ingin kita selalu ingat kebaya bukan sekedar cantik dan Indah tapi ia juga punya sejarah berdarah di masa lalu. Akhir kata saya ucapkan terima kasih atas kedatangannya." Tutup Miranti.Â