Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Caraku yang Berbeda

2 September 2022   19:18 Diperbarui: 2 September 2022   19:21 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semua cinta tidak sama. Cinta keluarga berbeda dengan cinta spiritual, cinta persahabatan, dan cinta romantis. Intensitas dan perasaan cinta mungkin berbeda, tetapi seharusnya selalu ada. (Aristoteles)

Aku senang membaca komentar dan celetukan lucu dari para budhe--pakdhe juga sepupu-sepupuku di grup whazap keluarga besar. Walaupun tinggal di kota yang berbeda-beda, tapi hubungan baik tetap terjaga. Teknologi yang berkembang saat ini sangat membantu kami dalam bersilaturahmi. Acara ulang tahun mama tahun ini kami mengundang keluarga dan teman-teman masa SMA-nya. Saudara sekandung mama tidak semua bisa hadir sehingga hanya mengucapkan lewat udara.

Adik perempuanku, Tria, tak lepas dari perbincangan itu. Sebagai satu-satunya pemodal, ia dipuji oleh kakak-kakak mamaku. Mereka bilang mamaku sukses mendidik anak hingga sukses seperti ini. Wajar, adikku memang menunjukkan peningkatan ekonomi sejak lulus kuliah. Bisa dibilang memang adiku ini adalah harapan terakhir kedua orang tuaku, mengingat aku dan adik laki-lakiku, Priyo, tidak menyelesaikan pendidikan kami hingga menjadi sarjana.

Tria sudah menikah, belum genap setahun, tapi ia sangat mandiri, tidak mengharapkan gaji suami. Untuk membeli atau membiayai apa pun yang ia mau, tak perlu banyak pertimbangan.  Suaminya pun tipikal menantu idaman. Ia sangat menyayangi kedua orang tuaku. Berbeda dengan suamiku yang sangat introvert, tidak pernah banyak bicara dengan keluargaku, benar-benar menutup diri. Ia hanya mau berbagi cerita denganku atau keluarganya saja. Sudah berkali-kali ku ingatkan, bahkan sampai di tahun ke-6 pernikahan kami ini, suamiku tetap bersikap sama.


*

"Btw, sudah lama nih kita nggak pulang kampung ke Magelang. Ayo, agendakan. Nanti yang kerja cari tanggal cuti yang sama. Dua malam saja cukup." Mbak Talita, kakak sepupuku, memberi ide di grup whazap.

"Oh, iya. Boleh juga, tuh. Tria bisa, kan?" Mas Surya menimpali.

"Kayaknya aku nggak bisa deh, Mbak. Nikah kemarin kan sudah ambil cuti 2 minggu," balas Tria.

"Nggak seru, donk kalau Tria nggak ikut." Balas Mbak Talita diiringi emoticon sedih.

"Lho ya, nggak apa-apa, ada mbak Diani kok. Iya kan mbak An?" Tria memintaku merespons balasannya.

"Iya, nanti aku sama mas Huda mewakili Tria." Jawabku.

Lima menit, sepupuh menit, setengah jam, hingga beberapa jam selanjutnya, tak ada satu pun yang memberi komentar. Hal-hal semacam ini seringkali terjadi. Mungkin mereka tidak menganggapku ada. Sakit hati? Sudah lupa rasanya.

Mas Huda, suamiku, selalu memintaku tak usah terlalu ambil hati, tapi aku pun kesal, dia juga salah satu pemicu aku diasingkan di keluarga ini. Jika saja mas Huda bekerja, mungkin aku bisa melakukan hal yang sama seperti Tria. Namun, sayangnya, kini aku yang jadi tulang punggung dalam pernikahan ini.

Aku dan Mas Huda menikah dalam kondisi keuangan yang sangat sederhana. Tidak ada pesta, hanya akad nikah kemudian kami menyewa sebuah kamar hotel bintang tiga untuk dua malam sebagai bulan madu ala kadarnya. Kami tidak punya foto pernikahan bagus seperti Tria dan suaminya. Hanya ada beberapa foto akad nikah yang diambil saudaraku-saudaraku dengan ponsel pribadinya. Di ruang tamu kami hanya terpasang foto kedua orang tuaku saat menikah dulu, foto Tria dan suaminya di Gedung acara resepsi mereka, dan foto Tria saat wisuda. Sakit hati seakan sudah menjadi teman akrabku.

Sejak kecil aku memang sulit brpisah dari mama. Mungkin hanya sugesti, tapi selalu saja muncul keluhan-keluhan di badan, entah demam, atau lainnya jika kami berjauhan. Tapi sebenarnya bukan itu yang utama, tapi aku hanya ingin memastikan mama aman bersamaku. Aku bisa melihatnya 24 jam penuh. Aku bisa memantau kesehatannya tanpa ada jam-jam yang terbuang sia-sia. Aku bisa tahu kapan mama membutuhkan tenagaku untuk membantunya, karena memang hanya itu yang aku punya.

Ada sebuah kejadian yang membuatku sangat terluka. Mama bercerita ke salah satu keponakannya bahwa ia sakit, mengeluhkan lambungnya yang terasa perih hingga sulit untuk bernapas. Saat itu juga ku bawa mama ke klinik terdekat, yang biayanya masih terjangkau dengan sisa gaji yang ada.

Tiba-tiba sepupuku menelepon.

"Kalau tahu mamamu sakit, bawalah periksa, sudah berapa hari sakitnya, jangan sibuk sama rumah tanggamu aja. Kan kalian tinggal sama-sama."

"Sudah aku bawa, Mbak. Tapi mungkin obatnya nggak mempan. Mama dikasih generik sama dokternya."

"Mamamu nggak bisa ke dokter umum, bawa ke spesialis. Nggak ada uang?"

"Nanti aku cari dulu, Mbak. Gajiku sudah habis. Padahal hari masih panjang."

"Makanya, gaji jangan cuma UMR. Cari lebihan, part time apa, kek. Buat apa tinggal serumah kalau masalah begini aja kamu nggak bisa cari solusi. Mendingan mamamu tinggal sama Tria. Lebih terjamin, Tria tahu apa yang mamamu butuh."

Rasanya seperti ditampar petir di hari yang panasnya menyengat. Aku sudah maksimal melakukan yang aku bisa. Aku juga sudah coba meminjam uang kemana-mana. Tapi keberuntungan belum berpihak. Aku tak bisa apa-apa.

Kuceritakan kejadian itu pada Tria. Sebagai adik, Tria sangat membelaku, ia menghubungi kakak sepupuku dan menjelaskan bagaimana aku sudah berusaha semampunya. Dan Tria berjanji akan membantuku memeperhatikan mama.

Lagi dan lagi di mata keluarga nama Tria semakin harum mewangi. "Untung ada Tria" seperti sebuah ungkapan istimewa yang meneduhkan.


*

Dua minggu sebelum perayaan ulang tahun mama, Tria menemuiku di kantor. Ia mengatakan akan membuat perayaan sederhana di rumahnya sebelum membuat acara undangan di restoran . Aku saja senang mendengarnya, apalagi mama.

"Kira-kira menunya yang mama suka aja kali ya, Mbak?'


"Iya, kan hari spesialnya mama, buat mama merasa benar-benar dimanja,"


"Menunya apa? Nanti Tria suruh ART baru yang masak."

"Mbak kasih pilihan, ya. Rawon Surabaya tapi jangan ada tetelan, harus ada telor asin, emping yang banyak, sambal terasinya harus agak manis. Sotomie jangan ada risolnya, kentanganya juga jangan terlalu banyak. Pakai bihun aja, mama nggak suka mie kuning. Sambalnya rebusan cabe rawit aja nggak usah digoreng. Kalau mau Chinese food, bisa capcay tapi nggak usah pakai daging ayam. Campurannya bisa hati ampela ayam, bakso ikan, atau diisi sea food. Atau mau kwetiau tapi yang teksturnya kenyal, bumbunya harus medok dan pedas. Minuman kamu boleh siapkan es sari kelapa, itu kesukaan mama. Kamu juga pasti tahu, kan?"

"Ah, iya. Baru ingat. Lalu kalau nasi timbel komplit gitu mama suka, nggak?"

"Boleh aja, tapi jangan dikasih ikan teri di dalamnya pas masak, mama nggak suka amis. Sekadar saran, lebih baik nasi putih, mama nggak suka macam-macam kalau makan."

"Ok, udh Tria catat semua. Nanti Tria pikirin lagi mana yang mau dibuat. Terus mama mau kado apa, ya?"

"Jam tangan mama udah rusak, beberapa kali diservis nggak bisa selamat. Mungkin bisa jadi pilihan. Diameternya nggak usah besar-besar, Tria. Tali warna hitam, jamnya yang angkanya lengkap, ya. Jangan yang cuma ada angka 12, 3, 6 dan 9. Oh, satu lagi. Mama mau mulai senam sama ibu-ibu komplek. Mungkin sepatu olahraga juga mama butuh."

"Warna apa, Mbak?"

"Mbak lihat dari seragam yang ibu-ibu itu pakai sih biru. Cuma mama kan nggak suka warna biru, belikan aja warna putih biar netral."

 Setelah mencatat semua, adikku itu pamit kembali ke kantornya. Ternyata sudah hampir dua jam kami membahas tentang semua hal yang disukai mama.

Di hari H acara ulang tahu mama di rumah Tria, ia terlihat sangat senang melihat semua yang disiapkan adik bungsuku. Berulang kali mama memeluknya sebagai ucapan terima kasih. Tria melirik padaku, aku memberi kode agar Tria tak menceritakan pada mama bahwa ini semua atas saranku padanya.


*

Aku pernah terlibat percakapan dengan mama beberapa bulan setelah acara ulang tahunnya. Sebagai manusia aku juga punya rasa tak nyaman jika sudah terlalu banyak yang memandang sebelah mata.


"Apa aku merepotkan dengan masih tinggal sama mama walaupun sudah menikah?"

"Mama tidak pernah menganggap begitu, kamu, Priyo dan Tria anak mama. Semua boleh tinggal di rumah ini sampai kapan pun. Tidak ada batasan waktu."

"Apa mama malu punya anak yang ekonominya pas-pasan sepertiku?"


"Masing-masing anak punya kelebihan dan kekurangannya sendiri. Diani, mama senang sekali dengan semua yang disiapkan Tria kemarin. Semua hal yang mama mau dan mama suka ada di sana. Dan mama yakin, Tria tidak sendirian menyiapkannya. Karena mama sangat tahu Tria tidak dengan detil memahami mama sepertimu. Mama tahu ada campur tangan Diani dalam hal ini. Terima kasih, Sayang. Mama tahu kenapa kamu menanyakan ini, tapi kamu harus punya jiwa besar. Anak-anak mama tidak boleh lemah dengan kata-kata orang yang berusaha melukainya. Level ekonomi anak tidak mempengaruhi caranya mencintai orang tua, itu yang mama rasakan selama mama jadi orang tua kalian. Kamu sudah cukup membuktikan pada mama bahwa mama tidak salah mendidikmu. Biarpun saat ini kondisi ekonomi belum seperti yang kamu harapkan, tapi mama bangga kamu tidak pernah patah arang membahagiakan orang yang kamu sayang."

Sudah benar sikapku untuk tidak lagi merasa sakit hati dengan pandangan mereka. Mereka tak perlu tahu sedalam apa aku menyayangi mama. Yang aku butuhkan, mama bisa memahami caraku mencintainya memang berbeda, dan selalu ada tempat untukku berpulang yaitu hati mama yang selalu terbuka kapan saja.

 

Bekasi, 2 September 2022

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun