Pagi yang dipayungi langit sedikit mendung, di sebuah taman berumput hijau. Suara kicau burung terdengar tetap riuh sekali pun suhu udara lebih rendah dari biasanya.Â
Beberapa orang berjalan-jalan di taman, ada juga yang memilih duduk-duduk di pinggirnya saja sembari bercerita tentang masalah-masalah mereka, ada pula yang bermain-main dengan benda kegemarannya.
Ibu Erna berkali-kali berucap, "Keluarga sangat mendukung, mereka membiarkan saya menjual asset kami untuk maju ke pemilihan. Saya pasti menang."
Ibu Evi yang berdiri tak jauh dari ibu Erna juga berucap berkali-kali, "Saya kurang cantik, suami saya memilih untuk meniduri sekretarisnya, staff-staff-nya yang lain, juga beberapa pemandu karaoke. Saya cantik sebenarnya, hanya saja saya sudah tua, sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan ranjangnya."
Bapak Feri terkekeh sembari mengeluarkan kalimatnya yang itu-itu saja selama 2 tahun belakangan, "Semua mengeluh, menangis, mengutuk nasib. Coba kalian seperti saya. Tenang, walaupun ditipu adik sendiri. Harta saya habis, istri saya pergi, dan anak-anak memutuskan untuk tinggal di luar negeri. Sementara saya memilih untuk di sini, bersama kalian."
Muncul Ayuni, yang paling muda diantara mereka, ia berkata, "Tapi kita semua di sini adalah orang gila."Â
Tawa meledak diantara mereka.
Perempuan dengan jas putih kebanggaan mendekati pasien-pasiennya. Lydia namanya. Perempuan muda itu menyapa mereka satu-persatu.Â
Melepas senyum tulusnya sebagai seorang dokter jiwa. Tak jarang sebuah pelukan mendarat untuk mereka. Lydia mengajak mereka bicara, baik empat mata atau dalam sebuah forum dimana dia bisa mendengarkan seorang pasien bercerita dan pasien yang lain mendengarkan.Â
Sudah hampir 6 tahun Lydia merawat mereka dengan kesungguhan hati. Mengabaikan kehidupan pribadinya, berumah tangga, atau pun memiliki anak.