Mohon tunggu...
Tobi J. Doseng
Tobi J. Doseng Mohon Tunggu... Guru - Biarlah gelas yang kuminum cukup setengah penuh.

Kehormatan terbesar dalam hidup saya adalah jika saya total mencintai diri, keluarga, sesama, dan profesiku. Untuk itu, segala yang bernada positif adalah tamu pertama yang kupersilakan memasuki pikiranku.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tentang Keharusan yang Dimiliki Seorang Guru

26 Januari 2025   23:00 Diperbarui: 26 Januari 2025   21:36 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Suasana di Ruang Rapat

“Tono dan Tony di kelas XI IPS1 begitu bodoh. Setiap apa yang dijelaskan tidak ada satu pun yang membekas. Saat diskusi, keduanya benar-benar hanya penghangat tempat duduk. Bila ditanya ‘apa yang kalian pahami dari diskusi tadi?’, hanya bola mata saja yang bereaksi dalam kebingungan hampa. Saya sungguh-sungguh malas mengajar di kelasnya mereka,” gerutu kecut dari guru ekonomi.

“Setiap pembelajaran saya di kelas yang disentil tadi, suasananya kok berbeda. Kedua siswa yang disebutkan cukup aktif. Bila saya mengajukan pertanyaan, mereka bisa menjawabnya meskipun kadang melambat. Hal yang mirip ketika berdiskusi. Mereka cukup responsif dan menyampaikan perpektifnya dengan percaya diri. Meskipun ritme pembelajaran di kelas tersebut sedikit tertinggal dari kelas lainnya, namun saya terus berupaya agar melakukan pola pembelajaran seturut karakteristik mereka,” timpal guru seni dan budaya dengan anggun.

Perdebatan kedua guru tersebut ternyata menyeruak aneka cerita sisi buram dan terang atas kelas XI IPS1 dari guru lain yang mengajar di kelas tersebut. Di mana ada guru yang mengafirmasi pernyataan dari guru ekonomi dan ada pula yang menegasi pernyataan dari guru seni dan budaya. Dan itulah secuil kondisi yang kerap menghiasi ruang guru kami, SMAN 3 Poco Ranaka, setiap Sabtu dalam pekan. Waktu yang kami khususkan untuk merefleksikan aktivitas pembelajaran dan potret keseharian perkembangan belajar dari peserta didik.

Saya, selaku Kepala Sekolah, menilai adanya pro kontra saat rapat berlangsung sebagai dialektika akademik untuk mendapatkan titik simpul yang paling pas saat menilai kemampuan guru dalam mengatasi masalah pembelajaran dan mengelola konflik di kelas dan/atau antarteman sejawatnya. Oleh karena itu, dengan model deskripsi kualitatif, saya coba menelaah kedua masalah tersebut dalam bingkai satuan pendidikan kami.

Pertama: Guru Hendaklah Memiliki Resiliensi Tinggi

Kernyitan dahi, suara sedikit melengkling, dan muka memerah yang menghiasi guru kala menyampaikan refleksi di akhir pekan –sebagaimana  dideskripiskan di atas– sungguh menggurati perasaan dan menggugat nalar untuk tidak menerima suasana yang dirasakan sebagai yang lumrah saja. Di sisi lain, tingginya rasa percaya diri saat mengajar, memiliki hubungan emosional yang baik dengan peserta didik, dan lahirnya aneka solusi dalam himpitan masalah pembelajaran adalah percikan harapan bahwa guru yang memiliki kompetensi pedagogik menjadi corong utama untuk mewujudkan pendidikan berkualitas.

Suasana yang berwajah ganda tersebut adalah polarisasi jamak terjadi di hampir semua satuan pendidikan di bumi pertiwi ini. Sebuah kondisi yang, satu sisi, sungguh menggembirakan karena ada hal baik yang perlu dipertahankan dan dioptimalkan, namun, di sisi lain, membutuhkan solusi terbaik agar hal yang mengecewakan segera diatasi. Kedua-duanya berujung pada jalan  menuju Indonesia emas di 2045, yaitu tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas tinggi.  

Lalu, apa yang seharusnya guru miliki sebagai tanda dia adalah seorang guru yang memiliki kemampuan pedagogik dan profesional yang baik? Dari semua persyarat yang diinternalisasikan dan dikerjanyatakan oleh seorang guru, saya lebih mendukung adanya keharusan baginya untuk memiliki resiliensi.

Secara etimologis, kata resiliensi berakar kata Latin, resilire yang berarti memantul atau melompat kembali. Kata ini adalah paduan dari kata re  yang berarti kembali dan salire yang berarti melompat. Term resiliensi sendiri kerap dipakai dalam ilmu fisika yang berarti elastisitas atau kekuatan untuk kembali ke bentuk semula setelah ditempa/ditekan. Ketika dihubungkan dengan profesi guru, maka ia didefenisikan (Payong, ed., 2024) sebagai kemampuan guru untuk bertahan, beradaptasi, dan tetap teguh dalam situasi yang sulit karena komitmen dan tanggung jawab yang dimilikinya.

Batasan ini menggarisbawahi apa yang sudah tampak dilakoni oleh guru seni dan budaya di atas. Hal tersebut dikarenakan ia dengan mudah menyesuaikan diri dengan perubahan dan memiliki kemampuan mengatasi kesulitan atau tantangan dalam proses pembelajaran.  Selain itu, ia mampu mengelola emosi dengan baik dan membangun relasi yang menyenangkan dengan peserta didik. Efek domino lanjutannya adalah terbentuknya komunitas dan  team work yang kuat dan akhirnya mampu menciptakan lingkungan belajar yang positif dan produktif.

Di sisi lain, resiliensi memengaruhi langsung atau tidak langsung terhadap kompetensi pedagogik dan profesional guru. Ia membantu guru untuk beradaptasi dengan kebutuhan belajar siswa, menangani masalah yang muncul dalam perannya sebagai pendidik, dan mengelola kelas secara efektif. Oleh karena itu, penting bagi guru mengembangkan resiliensinya agar dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan membantu peserta didik dalam mencapai hasil belajar yang optimal.

Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh sekolahnya kami, seperti optimalisasi peran komunitas belajar antar-rumpun mata pelajaran, workshop keterampilan mengelola kelas yang menyenangkan, diregulernya kegiatan refleksi per Sabtu dalam pekan, dan lain-lain adalah rangkain aksi menuju resiliensi guru. Dari aneka kegiatan tersebut tentu banyak hal yang sudah kami dapatkan. Misalnya, dari sharing seorang guru yang selalu menjujung romantika pembelajaran zaman dulu  atau dalam konsep Carol S. Dweck dikategorikan fixted minded terungkap, bahwa daya resiliensi yang mulai berkembang dalam dirinya berdampak positif terhadap cara mengelola stres saat berhadapan dengan masalah pengeloaan kelas dan menjalin relasi dalam komunitas (guru). “Sekarang saya tidak terlalu menyudutkan siswa jika mereka tidak mampu melaksanakan pembelajaran seturut yang saya skenario dalam RPP. Saya berbalik melihat bahwa ada yang tertinggal yang dipelajari siswa saya. Dan saya berupaya untuk memenuhinya,” tuturnya.

Saya berkeyakinan jika ritme resiliensi dikelola secara ajek, maka tidak hanya berpengaruh terhadap daya tahan guru dalam menghadapi masalah yang sulit. Tetapi juga lebih dari itu, yaitu guru semakin inovatif dan kreatif. Karena ia akan memiliki seribu satu cara untuk mewujudkan kelas yang menyenangkan. Ia menjadi idola dan role mode bagi warga sekolah, menjadi inspirasi dan kehadirannya dinanti-nanti oleh anggota komunitas. Jadi, resiliensi (guru) tidak saja berdampak personal namun juga berdampak komunal.  

Kedua: Kelola Konflik secara Profesional

Dampak positif dari resiliensi guru di atas akan terasa hambar jika kemampuan guru dalam mengelola konflik yang dihadapinya tidak terlalu menggembirakan. Butir-butir implisit sebagaimana diungkapkan guru ekonomi di bagian awal tulisan ini adalah buktinya. Guru cepat mengeluh, mudah stres, rentan mengeluarkan kata-kata bernuansa bullying, doyan menerapkan model konvesional dalam pembelajaran, dan anti-perubahan adalah indikasi pada guru yang amburadul dalam mengelola konflik. Padahal, kemampuan guru dalam memanajemen konflik memungkinkan guru mengidentifikasi, menganalisis, dan mengatasi konflik dengan cara terbaik.

Saya yakin kita semua menyepakati bahwa kemampuan mengelola konflik bagi seorang guru berdampak pada kualitas pendidikan dan lingkungan belajar yang positif dan produktif. Kompetensi tersebut membantu guru dalam mengatasi dengan tepat situasi yang potensial menimbulkan gesekan dalam relasi dengan siswa, rekan kerja, dan orang tua/wali murid. Bahkan berkat kemampuan tersebut maka segala bentuk pertikaian, silang pendapat, ketidakharmonisan, ketidaknyamanan, dan kesalahpahaman siswa dengan guru, guru dengan komunitasnya, sekolah dengan orangtua/wali menemukan titik terang dengan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak.

Guru yang mampu mengelola konflik sungguh mudah diidentifikasi. Mereka biasanya cendrung lebih efektif dalam mengajar, terampil dalam manajemen kelas, mahir dalam mengatasi prilaku menyimpang siswa, memiliki rasa bangga dan berwibawa menjadi guru, dan mudah berkerja sama dengan teman sejawat.

Arus positif dari manajemen konflik tersebut berimbas terhadap keberhasilan siswa secara akademis. Efek ini sendiri tercipta manakala guru membiasakan diri memberikan apresiasi untuk setiap capaian pembelajaran terbaik siswanya, memotivasi anak didik yang kecepatan belajarnya lambat, rancangan pelaksanaan pembelajarannya memperhatikan potensi dan karakter siswa, mengomunikasikan materi ajarnya dengan bahasa yang mudah dicerna, dan berkunjung ke rumah orang tua/wali murid untuk mendiskusikan perkembangan belajar anak didiknya. Jadi, kemampuan memanajemen konflik memengaruhi kompetensi pedagogik seorang guru.

Hanya soalnya adalah apakah kemampuan mengelola konflik dari seorang guru tepat beriringan dengan waktu dimulainya ia menjalankan tugas panggilannya tersebut? Hasil pengamatan langsung di kelas dan saat rapat guru ataupun cerita dari siswa dan para guru di sekolah disimpulkan, bahwa ada dua faktor dominan, yaitu kemampuan guru dalam berkomunikasi dan lama mengajar seorang guru.

Ada dua indikator bahwa guru memiliki kecakapan dalam berkomunikasi, yaitu: (1) diksi yang ia digunakan sreg di telinga pendengar saat ia mengevaluasi apa yang dikategorikan sebagai kekurangan kelas atau komunitas. Dengan kata lain, tata bahasa digunakan tidak menimbulkan ketersinggungan bagi pendengar. Dan (2) mengatakan apa yang dilihat mulai dari yang positif, selalu memberikan apresiasi untuk sesuatu yang baik, dan  tidak mudah jatuh ke perangkap subjektivitas.  

Sedangkan faktor kedua, yaitu guru  yang memiliki pengalaman mengajar cukup lama, tampak jelas saat ia mengatasi masalah. Ia cendrung mendahului akal sehat dibandingkan emosi, pilihannya untuk mengatasi masalah win win solution, dan konsekuensi dari solusi yang dipilihnya mengutamakan kepentingan komunitas dari pada kelompok atau individu tertentu.

Jadi, kemampuan mengelola konflik bagi seorang guru merupakan keterampilan penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif dan produktif. Berkat keterampilan tersebut, maka guru dapat mengidentifikasi potensi konflik sejak dini dan bisa meminimalisir retaknya jalinan relasi yang sudah bagus antara siswa, siswa dengan guru, atau antara rekan guru.

Akhirnya…

Resiliensi dan manajemen konflik menjadi penanda keprofesionalitasan seorang guru dalam menghadapi aneka masalah pembelajaran, peningkatan kualitas pendidikan, dan tumbuh kembangnya lingkungan pendidikan yang positif dan produktif. Kedua-duanya tidak bisa saling meniadakan atau saling menegasi.

Untuk itu, guru-guru yang resiliensinya belum menggembirakan maka sekolah tidak boleh menutup mata. Sekolah setidaknya harus mengeluarkan biaya untuk menghadirkan tenaga profesional  demi melatih para gurunya dalam mengembangkan pembelajaran yang menyenangkan dan optimalisasi peran komunitas belajar. Tidak hanya itu, sekolah juga bisa mendorong guru untuk mengikuti bimbingan/pelatihan mandiri dalam mengatasi stres dan/atau secara autodidak bermeditasi untuk melihat kelemahan dan kekuatan dalam diri –terutama yang berhubungan dengan masalah pembelajaran.

Demikian juga halnya dalam mengelola konflik. Guru-guru yang cendrung melihat masalah sebagai petaka harus diberikan pelatihan dalam berkomunikasi yang efektif dan dalam menangani masalah (pembelajaran). Selain itu, sekolah harus membiasakan diri untuk berefleksi secara berkala tentang kegiatan pembelajaran dalam kelas, masalah-masalah krusial saat berhadapan dengan peserta didik, sharing praktik baik, kerelaan dikritik dan sikap rendah hati untuk “mau diajar” oleh sesama teman guru.

Dan tentu tugas dan tanggung jawab untuk mewujudkan pendidikan berkualitas melalui penguatan resiliensi guru dan manajeman konflik secara afdal tidak bisa seratus persen diserahkan kepada sekolah. Pemerintah harus memberikan perhatian dan dukungan kepada guru. Salah satunya dengan memberikan pelatihan dan pengembangan yang membantu guru dalam memperluas wawasan dan kompetensinya. Semoga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun