Di sisi lain, resiliensi memengaruhi langsung atau tidak langsung terhadap kompetensi pedagogik dan profesional guru. Ia membantu guru untuk beradaptasi dengan kebutuhan belajar siswa, menangani masalah yang muncul dalam perannya sebagai pendidik, dan mengelola kelas secara efektif. Oleh karena itu, penting bagi guru mengembangkan resiliensinya agar dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan membantu peserta didik dalam mencapai hasil belajar yang optimal.
Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh sekolahnya kami, seperti optimalisasi peran komunitas belajar antar-rumpun mata pelajaran, workshop keterampilan mengelola kelas yang menyenangkan, diregulernya kegiatan refleksi per Sabtu dalam pekan, dan lain-lain adalah rangkain aksi menuju resiliensi guru. Dari aneka kegiatan tersebut tentu banyak hal yang sudah kami dapatkan. Misalnya, dari sharing seorang guru yang selalu menjujung romantika pembelajaran zaman dulu atau dalam konsep Carol S. Dweck dikategorikan fixted minded terungkap, bahwa daya resiliensi yang mulai berkembang dalam dirinya berdampak positif terhadap cara mengelola stres saat berhadapan dengan masalah pengeloaan kelas dan menjalin relasi dalam komunitas (guru). “Sekarang saya tidak terlalu menyudutkan siswa jika mereka tidak mampu melaksanakan pembelajaran seturut yang saya skenario dalam RPP. Saya berbalik melihat bahwa ada yang tertinggal yang dipelajari siswa saya. Dan saya berupaya untuk memenuhinya,” tuturnya.
Saya berkeyakinan jika ritme resiliensi dikelola secara ajek, maka tidak hanya berpengaruh terhadap daya tahan guru dalam menghadapi masalah yang sulit. Tetapi juga lebih dari itu, yaitu guru semakin inovatif dan kreatif. Karena ia akan memiliki seribu satu cara untuk mewujudkan kelas yang menyenangkan. Ia menjadi idola dan role mode bagi warga sekolah, menjadi inspirasi dan kehadirannya dinanti-nanti oleh anggota komunitas. Jadi, resiliensi (guru) tidak saja berdampak personal namun juga berdampak komunal.
Kedua: Kelola Konflik secara Profesional
Dampak positif dari resiliensi guru di atas akan terasa hambar jika kemampuan guru dalam mengelola konflik yang dihadapinya tidak terlalu menggembirakan. Butir-butir implisit sebagaimana diungkapkan guru ekonomi di bagian awal tulisan ini adalah buktinya. Guru cepat mengeluh, mudah stres, rentan mengeluarkan kata-kata bernuansa bullying, doyan menerapkan model konvesional dalam pembelajaran, dan anti-perubahan adalah indikasi pada guru yang amburadul dalam mengelola konflik. Padahal, kemampuan guru dalam memanajemen konflik memungkinkan guru mengidentifikasi, menganalisis, dan mengatasi konflik dengan cara terbaik.
Saya yakin kita semua menyepakati bahwa kemampuan mengelola konflik bagi seorang guru berdampak pada kualitas pendidikan dan lingkungan belajar yang positif dan produktif. Kompetensi tersebut membantu guru dalam mengatasi dengan tepat situasi yang potensial menimbulkan gesekan dalam relasi dengan siswa, rekan kerja, dan orang tua/wali murid. Bahkan berkat kemampuan tersebut maka segala bentuk pertikaian, silang pendapat, ketidakharmonisan, ketidaknyamanan, dan kesalahpahaman siswa dengan guru, guru dengan komunitasnya, sekolah dengan orangtua/wali menemukan titik terang dengan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak.
Guru yang mampu mengelola konflik sungguh mudah diidentifikasi. Mereka biasanya cendrung lebih efektif dalam mengajar, terampil dalam manajemen kelas, mahir dalam mengatasi prilaku menyimpang siswa, memiliki rasa bangga dan berwibawa menjadi guru, dan mudah berkerja sama dengan teman sejawat.
Arus positif dari manajemen konflik tersebut berimbas terhadap keberhasilan siswa secara akademis. Efek ini sendiri tercipta manakala guru membiasakan diri memberikan apresiasi untuk setiap capaian pembelajaran terbaik siswanya, memotivasi anak didik yang kecepatan belajarnya lambat, rancangan pelaksanaan pembelajarannya memperhatikan potensi dan karakter siswa, mengomunikasikan materi ajarnya dengan bahasa yang mudah dicerna, dan berkunjung ke rumah orang tua/wali murid untuk mendiskusikan perkembangan belajar anak didiknya. Jadi, kemampuan memanajemen konflik memengaruhi kompetensi pedagogik seorang guru.
Hanya soalnya adalah apakah kemampuan mengelola konflik dari seorang guru tepat beriringan dengan waktu dimulainya ia menjalankan tugas panggilannya tersebut? Hasil pengamatan langsung di kelas dan saat rapat guru ataupun cerita dari siswa dan para guru di sekolah disimpulkan, bahwa ada dua faktor dominan, yaitu kemampuan guru dalam berkomunikasi dan lama mengajar seorang guru.
Ada dua indikator bahwa guru memiliki kecakapan dalam berkomunikasi, yaitu: (1) diksi yang ia digunakan sreg di telinga pendengar saat ia mengevaluasi apa yang dikategorikan sebagai kekurangan kelas atau komunitas. Dengan kata lain, tata bahasa digunakan tidak menimbulkan ketersinggungan bagi pendengar. Dan (2) mengatakan apa yang dilihat mulai dari yang positif, selalu memberikan apresiasi untuk sesuatu yang baik, dan tidak mudah jatuh ke perangkap subjektivitas.
Sedangkan faktor kedua, yaitu guru yang memiliki pengalaman mengajar cukup lama, tampak jelas saat ia mengatasi masalah. Ia cendrung mendahului akal sehat dibandingkan emosi, pilihannya untuk mengatasi masalah win win solution, dan konsekuensi dari solusi yang dipilihnya mengutamakan kepentingan komunitas dari pada kelompok atau individu tertentu.